Ancaman Pinjol Terhadap Buruh: Solusi Instan yang Berujung Jerat

oleh -295 Dilihat

Wanua.id — Survei terbaru dari Koalisi Hidup Layak mengungkap realita pahit yang dihadapi buruh di berbagai wilayah Indonesia. Dari 257 responden buruh, sebanyak 76 persen atau 200 orang terjebak dalam utang, dengan mayoritas menggunakan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Survei ini menggambarkan bahwa pinjaman online (pinjol) menjadi salah satu sumber utang utama para buruh, menambah risiko dan beban finansial mereka.

Menurut survei, 143 responden menyatakan berutang untuk memenuhi kebutuhan pokok, sementara 65 orang berutang untuk membeli alat kerja. Selain itu, pembiayaan pendidikan anak disebutkan oleh 54 responden, diikuti oleh biaya sosial seperti khitanan, pernikahan, dan perayaan hari keagamaan (28 orang). Responden lainnya juga mengungkapkan alasan berutang terkait kebutuhan tempat tinggal, biaya kesehatan, usaha, transfer rumah tangga, hingga membayar utang lama.

Kokom Komalawati, Koordinator Umum Koalisi Hidup Layak, menyampaikan bahwa upah rata-rata yang diterima buruh per bulan mencapai Rp 3,4 juta, jauh di bawah total pengeluaran bulanan yang diperkirakan mencapai Rp 9,47 juta. Dengan selisih defisit sekitar Rp 7,72 juta, banyak buruh yang akhirnya mencari solusi sementara dengan menambah jam kerja, mengurangi konsumsi, atau bahkan kembali berutang.

Dalam pemaparannya dikutip dari Tempo, Kokom menyebutkan bahwa rata-rata cicilan utang per bulan yang harus ditanggung oleh buruh mencapai Rp 1,65 juta. Hal ini memaksa para buruh untuk menyesuaikan pengeluaran mereka, termasuk mengorbankan kebutuhan makan sehari-hari demi membayar cicilan dan biaya penting lainnya. “Ketika mendapatkan gaji, mereka harus membayar utang, rumah, dan lain-lain,” jelasnya.

Survei ini juga mengungkap bahwa sumber pinjaman buruh bervariasi, dengan tiga sumber utama adalah bank umum, pinjaman online (pinjol), dan pinjaman dari keluarga atau kerabat terdekat. Namun, pinjol menjadi pilihan yang paling sering diakses, karena menawarkan kredit dengan syarat yang sederhana, hanya membutuhkan data pribadi tanpa agunan.

Situasi ini diperparah dengan kebijakan upah murah dan liberalisasi layanan publik yang memaksa buruh untuk mencari solusi finansial jangka pendek melalui pinjol. “Kebijakan politik upah murah dan liberalisasi layanan publik membuat buruh terjerat utang,” tegas Kokom.

Survei ini dilakukan pada periode Agustus-September 2024 di delapan wilayah, termasuk Tangerang, Serang, Sukabumi, Sambas, Morowali, Denpasar, Brebes/Jepara, dan Sidoarjo. Partisipan survei berasal dari berbagai sektor, mulai dari manufaktur, ekonomi gig, penerbangan, perkebunan, pertambangan, hingga perikanan. Dengan menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif serta pendekatan aksi partisipatif, survei ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi finansial buruh di Indonesia. (***/ar)