Wanua.id – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyuarakan keprihatinan terkait minimnya pelibatan masyarakat adat dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia. Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Eustobio Rero Renggi, menegaskan bahwa masyarakat adat belum dimaksimalkan sebagai mitra utama untuk melindungi lingkungan dan ekosistem, meskipun telah lama menjadi penjaga hutan dan biodiversitas.
“Pelibatan penuh masyarakat adat sebagai mitra utama ini memang belum maksimal, dan ini harus menjadi kewajiban pasca COP16,” ujar Eustobio, seperti dikutip dari Tempo. Pernyataan ini merujuk pada hasil Conference of the Parties 16 (COP16) di bawah Convention on Biological Diversity (CBD), yang berlangsung di Cali, Kolombia, dari 21 Oktober hingga 2 November 2024.
AMAN juga mencatat bahwa banyak wilayah adat kini telah dikuasai untuk investasi skala besar yang justru merusak lingkungan. “Eksploitasi berlebihan atas nama pembangunan harus dihentikan, dan pemerintah seharusnya menghormati hak-hak masyarakat adat yang selama ini menjaga ekosistem secara turun-temurun,” tambah Eustobio.
COP16 CBD kembali mengangkat target global untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Manager Riset dan Data Forest Watch Indonesia, Ogy Dwi Aulia, menjelaskan bahwa setelah Aichi Biodiversity Targets (2011–2020) sebagian besar tidak tercapai, kini Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KMGBF) menetapkan 23 target hingga 2030, tujuh di antaranya mengakomodasi hak masyarakat adat.
AMAN berharap peran masyarakat adat diakui lebih besar dalam kebijakan lingkungan, agar keanekaragaman hayati dan ekosistem dapat terjaga dari ancaman eksploitasi. (***/ar)
