Koalisi Disabilitas Desak Setara dalam RKUHAP, Soroti Saksi Disabilitas Mental

oleh -22 Dilihat

Wanua.id – Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Komisi III DPR RI dan berbagai lembaga serta akademisi, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas mendesak agar revisi RKUHAP menjamin perlakuan setara terhadap penyandang disabilitas, termasuk dalam mekanisme persidangan.

Salah satu sorotan utama koalisi adalah pada saksi disabilitas mental yang dalam RKUHAP direncanakan tidak disumpah saat memberikan keterangan. Koalisi menilai hal itu berisiko menjadikan kesaksian mereka sebagai “keterangan biasa” yang bobotnya dipandang lebih rendah dalam proses hukum.

Dalam pembahasan bersama Komisi III, koalisi menyampaikan bahwa tidak boleh ada generalisasi bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat menjadi saksi — atau bahwa kesaksiannya otomatis kurang kredibel. Mereka mengusulkan agar revisi RKUHAP memuat rekognisi saksi disabilitas, akomodasi yang layak, penyeimbangan bobot kesaksian, serta penyesuaian definisi dan konsep hukum acara agar lebih ramah disabilitas.

Salah satu narasumber dari masyarakat disabilitas, Yeni (nama organisasi disabilitas), menyampaikan bahwa apabila kesaksian penyandang disabilitas mental tidak berada di bawah sumpah, maka praktis keterangan itu akan kekurangan “berat hukum”. “Keterangan di luar sumpah hampir dianggap sekadar informasi tambahan,” katanya.

Dalam catatan koalisi, Pasal 1 angka 45 RKUHAP tengah dipertimbangkan revisinya agar makna “saksi” mencakup penyandang disabilitas, serta agar RKUHAP tidak melepaskan kewajiban sumpah sebagai syarat bagi saksi disabilitas mental.

Selain itu, dalam pertemuan itu muncul suara dari penyandang disabilitas intelektual yang juga menyampaikan pengalaman diskriminasi di berbagai bidang — termasuk di arena hukum. Seorang penyandang down syndrome bernama Morgan meminta agar dalam RKUHAP baru tidak ada pasal diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, terutama mereka yang sering dianggap “tidak mampu secara hukum”.

Koalisi berharap DPR dan pembentuk regulasi segera memberikan ruang legitimasi hukum yang adil bagi semua warga negara, termasuk mereka yang selama ini sering terdorong ke pinggiran proses hukum karena hambatan struktural maupun prasangka.