Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 September 2024 memberikan fleksibilitas baru bagi presiden untuk menentukan jumlah kementerian. Langkah ini memicu spekulasi bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang dianggap memiliki rentang kerja terlalu luas, bisa dipecah menjadi dua kementerian terpisah.
Penggabungan berbagai bidang strategis seperti pendidikan, kebudayaan, serta riset dan teknologi dalam satu kementerian telah lama dikritik. Para pakar menilai bahwa rentang tugas yang besar ini membuat efektivitas kementerian menurun, dan pemisahan kementerian dianggap sebagai solusi potensial untuk mempercepat kinerja. Namun, di tengah momentum ini, muncul kekhawatiran bahwa langkah tersebut bisa menjadi alat politik untuk “bagi-bagi kursi” di kabinet presiden terpilih Prabowo-Gibran yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024.
Namun, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, dalam prediksi yang dimuat di Harian Kompas, menyoroti bahaya di balik aturan baru tersebut. Menurutnya, penambahan pos kementerian harus difokuskan pada upaya meningkatkan kinerja pemerintahan, bukan untuk kepentingan politik akomodasi.
“Penambahan pos kementerian itu diharapkan bukan untuk kepentingan berbagi kursi dengan partai koalisi. Rencana tersebut harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan jalannya pemerintahan dan pelaksanaan setiap kebijakan,” ujar Adi Prayitno dalam wawancara sebelumnya. Ia juga memperingatkan, aturan ini bisa membuka ruang bagi politik transaksional jika tidak diterapkan dengan hati-hati. (ar)
