Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Tolak Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional, Tuduhan Monopoli Kebenaran dan Rekayasa Masa Lalu

oleh -266 Dilihat

Wanua.id – Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari sejarawan, akademisi, aktivis hak asasi manusia, dan pegiat masyarakat sipil, menyampaikan penolakan tegas terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR RI pada Senin, 19 Mei 2025, AKSI mengungkapkan kekhawatiran bahwa proyek ini berpotensi menciptakan tafsir tunggal sejarah dan menjadi alat legitimasi politik pemerintah.

Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah oleh pemerintah merupakan upaya halus untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran sejarah bangsa. Ia menilai bahwa narasi “sejarah resmi” yang diusung oleh pemerintah tidak tepat dan berbahaya dalam konteks demokrasi.

Sejarawan Asvi Warman Adam, anggota AKSI, menambahkan bahwa proyek ini tidak memenuhi kaidah produksi ilmu pengetahuan sejarah dan berpotensi mengaburkan fakta-fakta sejarah, khususnya pelanggaran HAM di masa lalu. Ia mengingatkan bahwa sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan.

AKSI juga menyoroti bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini tidak melibatkan partisipasi publik yang luas dan transparan. Mereka mendesak agar pemerintah menghentikan proyek ini dan lebih fokus pada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang masih belum terselesaikan.

Komisi X DPR RI, melalui Ketua Hetifah Sjaifudian, mengakui bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan substansi maupun proses teknis penulisan sejarah bersama Kementerian Kebudayaan. Hetifah menyatakan bahwa masukan dari AKSI akan diteruskan ke kementerian dan menegaskan pentingnya keterlibatan Komisi X dalam proses revisi sejarah nasional.

Proyek penulisan ulang sejarah nasional ini direncanakan akan diluncurkan pada peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2025, dan melibatkan para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Namun, AKSI menilai bahwa pendekatan ini berpotensi mengabaikan keragaman tafsir sejarah dan pengalaman rakyat.

AKSI menegaskan bahwa sejarah adalah milik rakyat, bukan milik kekuasaan. Mereka menyerukan agar proses penulisan sejarah dilakukan secara demokratis, inklusif, dan menghormati keberagaman perspektif serta pengalaman sejarah bangsa Indonesia.

Dengan penolakan ini, AKSI berharap pemerintah mempertimbangkan kembali proyek penulisan ulang sejarah nasional dan memastikan bahwa sejarah Indonesia ditulis dengan menghormati prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan kebenaran.