Wanua.id – Dua akademisi dan ahli lingkungan hidup terkemuka, Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, menghadapi gugatan perdata dari PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM), perusahaan yang pernah dinyatakan bersalah dalam perkara kebakaran hutan tahun 2018. Gugatan ini menuai kecaman luas dan dianggap sebagai bentuk nyata Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yang bertujuan membungkam suara kritis dalam perjuangan lingkungan hidup.
Pada kasus tahun 2018, kesaksian ilmiah Bambang dan Basuki menjadi bagian penting dalam putusan pengadilan yang menghukum PT KLM membayar ganti rugi sekitar Rp 89 miliar, serta kewajiban pemulihan lingkungan senilai Rp 210 miliar akibat kebakaran 511 hektar lahan gambut.
Kini, kesaksian mereka justru dijadikan dasar gugatan. Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Marsya M. Handayani, menyebut langkah hukum ini sebagai serangan terhadap Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang secara eksplisit melindungi warga negara yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Gugatan terhadap Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis adalah serangan langsung terhadap Pasal 66 UU PPLH, menunjukkan betapa rentannya para pejuang lingkungan hidup,” ujar Marsya dalam keterangan persnya.
Pasal tersebut menegaskan bahwa siapa pun yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat digugat secara perdata maupun dituntut secara pidana. Hal ini juga dikuatkan dalam Pasal 48 ayat (3) huruf c PERMA No. 1/2023, yang menjelaskan bahwa penyampaian keterangan di persidangan adalah bentuk sah dari perjuangan hak atas lingkungan hidup.
Gugatan PT KLM dinilai sebagai bentuk SLAPP—gugatan strategis yang tidak bertujuan memenangkan perkara secara hukum, tetapi untuk mengintimidasi dan melemahkan individu atau kelompok yang bersuara untuk kepentingan publik.
Menurut Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, tindakan hukum ini bukan hanya keliru secara etis dan hukum, tetapi juga merusak mandat ilmiah seorang ahli.
“Tugas ahli adalah memberikan keterangan berdasarkan keahlian. Itu amanat hukum. Hakim tidak terikat pada keterangan ahli, jadi menggugat ahli karena keterangannya adalah tindakan menyesatkan dan harus ditolak,” tegas Sekar.
SLAPP dan upaya untuk melindungi dari praktik semacam ini telah dikenal luas di dunia internasional melalui kebijakan Anti-SLAPP. Di Indonesia, semangat perlindungan serupa sudah termuat dalam UU PPLH, tetapi penerapannya kini kembali diuji.
