Wanua.id – Kabar Raja Ampat semakin mencemaskan, berbagai tanggapan masyarakat setempat terkait aktivitas pertambangan. Raja Ampat adalah jantung pariwisata berkelanjutan yang selama ini menjadi harapan masa depan Papua. Namun, kebijakan pemerintah pusat yang menunjukkan bahwa Raja Ampat akan berada diambang kehancuran.
Di satu sisi, Indonesia sedang memperkuat agenda transisi energi melalui pengembangan industri nikel logam penting untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi energi terbarukan. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel, terutama di wilayah yang sensitif secara ekologis seperti Raja Ampat, bisa berdampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
“Kami tidak hendak menolak pembangunan. Sebaliknya, kami percaya bahwa pembangunan dan konservasi bisa berjalan beriringan jika dirancang dengan kearifan. Justru karena nilai ekologis dan budaya kawasan ini begitu tinggi, maka setiap bentuk pembangunan di sini harus dijalankan dengan langkah yang hati-hati, transparan, dan partisipatif. Sejatinya, membangun adalah tentang merawat hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan masa depan”, ujar Samuel Moifilit selaku pemuda penggerak Aliansi Jaga Alam Raja Ampat.
“Berbagai upaya penolakan pertambangan di pulau-pulau kecil di Papua Barat telah dilakukan oleh warga lokal dan jaringan masyarakat sipil. Akan tetapi, upaya tersebut tidak dipertimbangkan dan dihiraukan oleh pemangku kebijakan. Ironisnya, pada tahun 2025 ini ESDM masih menerbitkan IUP (Izin Upaya Pertambangan) kepada PT Nurham dengan luas konsesi 3.000 hektar di daratan Distrik Waigeo Timur Pertengahan antara Kampung Urbinasopen dan kampung Yensner Pulau Waigeo Kabupaten Raja Ampat”, ungkapnya.
“Semakin masifnya penerbitan IUP di Gugusan Kepualauan Raja Ampat akan semakin meningkatkan kerentanan atas keberlanjutan ekosistem perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta kehidupan masyarakat yang secara turun temurun telah memanfaatkan gugus kepulauan Raja Ampat”, ucap Samuel.
Ia mendesak kepada pemerintah Pemprov Papua Barat Daya dan Pemda Kabupaten Raja Ampat untuk membuat kebijakan yang bertujuan untuk melindungi alam dan masyarakat.
“Saya mendesak Pemerintah Daerah provinsi Papua Barat Daya dan pemerintah kabupaten Raja Ampat untuk segera membuat kebijakan yang melindungi alam dan masyarakat yang telah lama hidup bersahabat dengan alam mereka.
Ketika IUP itu diterbitkan saja sudah melanggar aturan, harusnya saat mengajukan izin tidak diproses oleh pemerintah”, desak pemuda adat Saworof dari Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat.
Adapun Aslan Wajo sebagai juru kampanye Gerakan Selamatkan Manusia, Hutan, dan Tanah Malamoi memberikan pesan kepada pemerintah.
“Saya berharap pemerintah sadar bahwa Raja Ampat bukan tanah kosong dan tidak berharga yang bisa di rusak kapan saja, saya berharap agar pemerintah bisa melihat Raja Ampat secara sadar bahwa Raja Ampat adalah surga yang seharusnya dijaga dan dilestarikan”, pesan Aslan.
Selain dari para aktivis, ada kesadaran dari masyarakat adat Kampung Manyaifun yang menjadi salah satu lokasi tambang nikel yang dikelola oleh PT. Raimon Perkasa.
“Saya dan masyarakat yang tidak ikut mendukung kehadiran perusahaan kami lakukan penolakan dengan cara mendatangani petisi penolakan bersama masyarakat terdampak lainnya”, ujar Ronisel Mmbrassar.
“Saya berharap pemerintah daerah lebih serius untuk melihat persoalan- persoalan tambang di Raja Ampat salah satunya di Manyaifun dan Batang Pele”, ucapnya.