Minimnya Upaya Memperjuangkan Tukin di Sulawesi Utara: Takut Bersuara atau Terlalu Nyaman?

oleh -422 Dilihat

Wanua.id – Isu mengenai tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen di Indonesia sudah lama menjadi perbincangan hangat, namun di Sulawesi Utara, upaya memperjuangkannya masih terasa minim. Sementara daerah lain di Sulawesi, seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, sudah menunjukkan langkah lebih progresif dalam memperjuangkan hak tersebut, di Sulawesi Utara gerakan untuk mengatasi persoalan tukin terkesan lambat.

Hal ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk Dr. Fatimah S.Si., MP, seorang pengamat pendidikan dari Asosiasi Dosen dan Akademisi Seluruh Indonesia (ADAKSI), yang mengingatkan bahwa dosen memiliki hak tukin yang belum dibayarkan. “Dosen berhak mendapatkan tukin sejak 2020 sesuai dengan Permendikbud Nomor 49 Tahun 2020, namun kenyataannya masih ada yang terabaikan,” ujar Dr. Fatimah dalam diskusi Misteri Penundaan Tunjangan Kinerja 60.000 Dosen Selama 5 Tahun pada 18 Januari 2025.

Dengan adanya kebijakan yang tertunda, banyak dosen yang merasa hak mereka belum dipenuhi, yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka serta kualitas pengajaran dan riset di perguruan tinggi. Namun, di Sulawesi Utara, pergerakan untuk memperjuangkan tukin ini terkesan kurang berkembang. Beberapa pihak bertanya-tanya, apakah ini disebabkan oleh ketakutan untuk bersuara atau justru rasa nyaman dengan keadaan yang ada.

Perguruan tinggi negeri di Sulawesi Utara, seperti Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Universitas Negeri Manado (Unima), Politeknik Negeri Manado (Polimdo), dan Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar), memiliki peran besar dalam pengembangan pendidikan tinggi di wilayah ini. Namun, jika kebijakan tukin terus diabaikan, bukan tidak mungkin kualitas pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik di perguruan tinggi tersebut akan terpengaruh.

Ketidakpedulian terhadap hal ini bisa mengindikasikan bahwa ada perasaan aman atau nyaman dengan status quo, meski hak-hak yang seharusnya diterima belum dipenuhi. Sebuah sinergi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan komunitas akademik sangat dibutuhkan untuk mendorong gerakan yang lebih progresif dalam memperjuangkan hak tukin.

Dr. Fatimah menegaskan bahwa perjuangan untuk tukin adalah hak yang tidak bisa ditunda lagi, terutama jika ingin menjaga keberlanjutan dan kualitas pendidikan tinggi di Sulawesi Utara. “Jika kita tidak berani bersuara sekarang, akan ada banyak dosen yang merasa diabaikan, dan itu akan mempengaruhi integritas dunia pendidikan kita,” ujarnya.

Gerakan untuk memperjuangkan tukin seharusnya menjadi prioritas bagi semua pihak yang peduli dengan kualitas pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik. Sulawesi Utara perlu lebih aktif dan berani dalam memperjuangkan hak-hak dosen agar tidak tertinggal dalam perbaikan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *