Program MBG Dinilai Boros Anggaran, FITRA dan Akademisi Minta Evaluasi

oleh -87 Dilihat

Wanua.id – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melalui peneliti Betta Anugrah Setiani menyoroti alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2025 yang dinilai terlalu besar diarahkan ke program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda, serta Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam paparannya pada webinar ADKASI, Senin (16/9/2025).

Menurut FITRA, besarnya alokasi itu menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi mengalihkan fungsi inti anggaran pendidikan. Dana yang seharusnya menopang kebutuhan mendasar seperti infrastruktur sekolah, peningkatan kualitas guru, dan penguatan kurikulum justru berisiko terabaikan.

Ketua ADAKSI UNSRAT, Boyke Rorimpandey, juga menegaskan bahwa program MBG berpotensi boros anggaran dan perlu segera dievaluasi. Ia menyoroti fenomena di mana sejumlah sekolah unggulan—yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga dengan kondisi finansial di atas rata-rata—tetap menerima program MBG. “Padahal, dana ini bisa lebih dimaksimalkan untuk program pendidikan lainnya yang benar-benar menyentuh kelompok rentan,” ujarnya.

Selain FITRA, Media Wahyudi Askar, Ph.D., Direktur Kebijakan Publik CILCS, juga memaparkan persoalan struktural terkait penerimaan negara. Ia menekankan bahwa rasio pajak (tax ratio) Indonesia terus menurun, bahkan pada 2024 hanya berada di angka 10,1 persen—jauh di bawah rata-rata negara ASEAN yang sudah menembus lebih dari 13 persen.

“Realisasi penerimaan yang buruk membuat tax ratio Indonesia memburuk. Rendahnya penerimaan pajak ini berdampak langsung pada kemampuan negara mengalokasikan anggaran, termasuk untuk sektor pendidikan,” jelas Media Askar.

Ia menambahkan, rendahnya tax ratio menekan ruang fiskal negara. Kondisi ini memperburuk risiko inkonsistensi kebijakan anggaran, karena pemerintah lebih mudah memangkas anggaran sektor strategis—salah satunya pendidikan—ketika penerimaan pajak tidak optimal.

Webinar yang juga dihadiri sejumlah akademisi, aktivis pendidikan, serta anggota DPR RI ini memunculkan diskusi hangat. Beberapa peserta menyampaikan kekhawatiran serupa, terutama terkait dampak langsung pada dosen dan mahasiswa, termasuk persoalan tunjangan kinerja (tukin) dosen yang tetap harus dijamin dari APBN, bukan dialihkan dari pendapatan kampus.

Dengan kondisi tersebut, para narasumber sepakat bahwa upaya memperkuat penerimaan pajak dan memastikan tata kelola anggaran yang transparan menjadi kunci agar kebijakan pendidikan tidak terjebak dalam prioritas yang keliru dan membebani masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *