Wanua.id – Baru beberapa hari sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto sudah dihadapkan pada isu sensitif terkait hak asasi manusia. Pernyataan Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang menyebut tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat, menuai kritik tajam dari aktivis dan masyarakat.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai pernyataan tersebut mengaburkan fakta sejarah dan menjadi sinyal buruk dari pemerintahan baru. “Tak pantas seorang pejabat negara mengeluarkan pernyataan keliru tentang HAM, terutama di masa awal pemerintahan,” ujar Usman pada Senin, 21 Oktober 2024 dikutip melalui Harian Tempo.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa tragedi 1998 telah disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat dalam penyelidikan pro-justitia yang selesai pada 2002. Bukti yang ditemukan mencakup pembunuhan, penghilangan paksa, dan perampasan kebebasan. Berkas penyelidikan telah lama diserahkan kepada Jaksa Agung, namun hingga kini tidak ada perkembangan signifikan.
Isu HAM ini semakin memanaskan situasi karena sejarah masa lalu Prabowo kerap dikaitkan dengan kasus penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998. Meski tuduhan itu tidak pernah dibawa ke pengadilan, bayang-bayang tersebut terus menghantui karier politiknya.
Kekhawatiran muncul bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, penegakan HAM dapat terhambat. Publik menilai pernyataan Yusril sebagai indikasi bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu berpotensi diabaikan. Bagi banyak pihak, ini menjadi tantangan serius bagi Prabowo untuk membuktikan komitmennya dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia. (***/ar)