IPK Indonesia 2024 Naik ke 37, Peringkat Melonjak ke 99

oleh -58 Dilihat

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 mengalami kenaikan tiga poin menjadi 37, yang mendorong peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara. Transparency International Indonesia (TII) merilis data ini pada 12 Februari 2025.

Meskipun terdapat kenaikan, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat penurunan skor pada tiga indikator utama: penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik di tiga cabang kekuasaan, serta penyuapan dalam kegiatan bisnis seperti ekspor, impor, dan kontrak publik. Menurut Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah, skor IPK 2024 masih lebih rendah dibandingkan dengan skor tertinggi Indonesia, yaitu 40 pada 2019.

IPK dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, di mana 0 berarti paling korup dan 100 paling bersih. Indonesia memperoleh skor dari sembilan sumber data, termasuk Political Risk Service (33), IMB Business School World Competitiveness Yearbook (45), Global Insight Country Risk Rating (32), dan World Economic Forum Executive Opinion Survey (61). Sumber lain meliputi Bertelsmann Stiftung Transformation Index (39), Economist Intelligence Unit Country Risk Service (35), Political and Economic Risk Consultancy (38), Varieties of Democracy Project (22), dan World Justice Project Rule of Law Index (26).

Wana menjelaskan bahwa kenaikan skor IPK 2024 terutama disebabkan oleh masuknya kembali indikator World Economic Forum (WEF) yang terakhir digunakan pada 2021. Indikator ini mengukur kewajaran pembayaran tambahan atau suap yang tidak tercatat dalam transaksi bisnis. Meskipun skor WEF 2024 meningkat, kehadirannya sebagai indikator baru masih perlu dikaji lebih lanjut. Sementara itu, indikator Global Insight Country Risk Ratings justru mengalami penurunan 15 poin dibandingkan tahun sebelumnya.

Indikator Varieties of Democracy Project juga menjadi sorotan, terutama dalam konteks korupsi politik yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta pengelolaan sumber daya alam. Kajian ICW menunjukkan adanya hubungan erat antara sektor bisnis ekstraktif dan energi terbarukan dengan pejabat pemerintah. Pemerintah daerah dan eksekutif disebut memberikan izin kepada perusahaan, legislatif memfasilitasi, dan yudikatif cenderung berpihak pada korporasi dalam kasus sengketa lingkungan.

Walaupun skor Indonesia meningkat, posisinya masih tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Timor Leste berada di peringkat 73 dengan skor 44, Vietnam di peringkat 88 dengan skor 40, Malaysia di peringkat 57 dengan skor 50, dan Singapura menempati peringkat 3 dengan skor 84. Indonesia juga masih di bawah rata-rata global yang berada di angka 43.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *