Pemerintah Paksa Pembangunan SMA Unggulan Garuda di Tengah Krisis Anggaran dan Tuntutan Dosen ASN

oleh -110 Dilihat

Wanua.id – Pemerintah berencana membangun Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggulan Garuda di bawah naungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dengan alokasi anggaran sebesar Rp2 triliun. Rencana ini diklaim sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan sekolah unggulan yang dapat menjadi percontohan di berbagai daerah. Hingga tahun 2029, pemerintah menargetkan pembangunan 40 SMA/MA Garuda di berbagai wilayah Indonesia, dengan tahap awal mencakup empat lokasi, yakni Ibu Kota Nusantara (IKN), Nusa Tenggara Timur (NTT), Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengungkapkan bahwa pembangunan SMA Garuda akan dimulai pada awal 2025 dengan payung hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres). Dalam rapat kerja bersama Kemendikdasmen dan Kementerian Kebudayaan pada Rabu (12/2), ia menjelaskan bahwa anggaran pembangunan SMA Garuda telah mengalami efisiensi oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) sebesar 60 persen. Meski demikian, pihaknya mengusulkan agar anggaran tetap berada di angka Rp2 triliun karena program ini dianggap sebagai “QuickWin” atau unggulan cepat.

Namun, di tengah kebijakan penghematan anggaran, rencana pembangunan ini menuai kritik tajam. Para akademisi dan pemerhati pendidikan mempertanyakan prioritas pemerintah, terutama ketika banyak sekolah yang sudah ada masih mengalami berbagai keterbatasan fasilitas dan kualitas pendidikan.

Kritik terhadap pembangunan SMA Garuda pun semakin menguat, terutama karena kebijakan ini dianggap tidak sejalan dengan kondisi anggaran yang terbatas. Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), menyarankan agar pemerintah lebih memprioritaskan peningkatan kualitas sekolah yang sudah ada dibanding membangun sekolah baru yang justru berpotensi menyebabkan deforestasi.

“Infrastruktur SMA Garuda ini butuh 20 hektare lahan. Apa tidak sebaiknya memperbaiki sekolah yang sudah ada, menjadikannya percontohan, atau bahkan membangun sekolah dengan konsep penghijauan kembali di lahan bekas tambang?” ujarnya melalui akun X (Twitter) @hpwiratraman.

Kritik senada juga pernah diutarakan oleh Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, pada Januari lalu. Dimana pembangunan SMA Unggulan Garuda dinilai justru tak akan menyelesaikan akar persoalan pendidikan di Indonesia. Sekolah khusus siswa unggulan itu dianggap hanya akan memperlebar jurang ketimpangan akses pendidikan antara si kaya dan si miskin.

“Ternyata warisan pemenuhan hak pendidikan dan mutu yang masih timpang ini diperparah dengan adanya rencana penerapan kebijakan sekolah unggulan dan sekolah rakyat,” ujarnya.

Di sisi lain, Aliansi Dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) Seluruh Indonesia (ADAKSI) terus bersuara terkait tuntutan mereka terkait tunjangan kinerja (tukin) yang belum terpenuhi. Ketua Koordinator Nasional (Kornas) Adaksi Pusat, Anggun Gunawan, mengungkapkan bahwa anggaran Rp2,5 triliun yang dialokasikan pemerintah untuk tukin dosen ASN hanya cukup untuk mencakup 1/3 dari total dosen ASN Kemendikti Saintek.

“Yang 2025 cuma di-cover 1/3 dari total dosen (ASN Kemendikti Saintek), kami tetap perjuangkan tukin for all,” kata Anggun kepada wartawan, Jumat (31/1/2025) lalu.

Dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan di berbagai sektor, termasuk pendidikan, serta tuntutan para akademisi terkait hak mereka yang belum dipenuhi, hingga potensi ketimpangan sosial, rencana pembangunan SMA Unggulan Garuda semakin dipertanyakan. Apakah langkah ini benar-benar akan meningkatkan kualitas pendidikan atau justru memperlebar ketimpangan yang sudah ada?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *