Keputusan Pemerintah Tak Naikkan Cukai Rokok 2025 Tuai Pro-Kontra

oleh -32 Dilihat

Wanua.id – Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 menuai pro dan kontra. Kebijakan ini dianggap memberi ruang napas bagi industri padat karya, namun di sisi lain dikritik karena berpotensi menambah beban kesehatan dan ekonomi masyarakat.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman, menilai langkah pemerintah dapat menjaga stabilitas industri tembakau, terutama produksi sigaret kretek tangan yang menyerap banyak tenaga kerja. “Kebijakan ini bisa menjaga produksi sekaligus penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya,” ujarnya.

Meski begitu, Rizal mengingatkan adanya risiko stagnasi penerimaan negara. Kontribusi CHT diperkirakan lebih dari Rp220 triliun atau sekitar 10 persen dari total penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Sebagian besar daerah pun sangat bergantung pada dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT) untuk membiayai sektor kesehatan dan pemberdayaan petani.

“Tanpa kenaikan tarif, penerimaan bisa terhambat, terutama jika konsumsi rokok legal tidak meningkat signifikan,” kata Rizal. Ia menambahkan, pemberantasan rokok ilegal sebaiknya menjadi fokus utama, karena peredarannya masih sekitar 4–5 persen dari total konsumsi nasional. Jika ditekan hingga separuhnya, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp8–10 triliun per tahun.

Di sisi lain, kritik keras datang dari kalangan kesehatan masyarakat. Peneliti Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, menilai keputusan pemerintah cenderung berpihak pada industri rokok. Menurutnya, dampak terhadap konsumsi rokok dan kesehatan masyarakat tidak dipertimbangkan secara serius.

“Cukai rokok seharusnya dipandang sebagai instrumen fiskal paling efektif untuk menekan konsumsi, karena produknya berbahaya, bukan sekadar menopang industri atau penerimaan,” tegas Beladenta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan rokok menjadi komponen pengeluaran terbesar kedua bagi rumah tangga miskin setelah beras. Kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan mencapai 10,72 persen di perkotaan dan 9,99 persen di perdesaan. Sementara itu, riset CISDI tahun 2019 mencatat beban ekonomi akibat konsumsi rokok mencapai Rp184–410 triliun per tahun atau setara 1,16–2,59 persen dari produk domestik bruto.

Dengan tidak adanya kenaikan cukai tahun ini, CISDI menilai peluang menekan konsumsi rokok semakin terhambat, sementara beban sosial dan ekonomi akibat rokok berpotensi terus meningkat.

Keputusan ini pun menegaskan dilema klasik pemerintah: menjaga keberlangsungan industri tembakau yang menyerap tenaga kerja, atau mengurangi dampak konsumsi rokok yang membebani masyarakat dan sistem kesehatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *