oleh : S. Joko Utomo, Anggota ADAKSI (Asosiasi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia)
Polemik tunjangan kinerja dosen ASN Kemendikti Saintek sejak 2014 yang tak berkesudahan, menunjukkan tidak adanya kepedulian kementerian ini terhadap nasib dosen.
Kondisi ini ternyata bertolak belakang dengan Kementerian Agama. Sigap langkah menteri di periode kabinet lalu, berhasil mencairkan rapel tunjangan kinerja guru dan dosen yang terutang pada periode sebelumnya.
Sudah seharusnya jika para pejabat Kementerian Dikti Saintek atau apapun nama kementerian ini sebelumnya dapat melakukan magang ala MBKM di Kementerian Agama. Belajar bagaimana mengambil kebijakan yang berpihak pada pilar pembangunan talenta bangsa. Bukan malah sebaliknya, memberikan pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif. Bahkan seolah menyalahkan pejabat periode sebelumnya. Terlebih sampai membungkam kekritisan dosen ASN.
Sebenarnya apa yang terjadi terkait polemik tunjangan kinerja dosen ASN Kemendikti Saintek ini? Masyarakat harus mengetahui bahwa sejak era tunjangan kinerja diberlakukan di kementerian yang mengurusi pendidikan tinggi, dosen dikecualikan dari daftar pegawai yang menerimanya.
Dosen dianggap sudah cukup dengan tunjangan profesi yang didapat. Padahal tunjangan profesi ini besarannya tak sebanding dengan tunjangan kinerja. Artinya apa? Dosen mendapatkan penghasilan jauh lebih rendah dibandingkan pegawai dengan jenjang pangkat dan jabatan yang sama.
Dosen hanya mengeluh? Suatu hal yang manusiawi. Apalagi telah berlangsung selama 10 tahun. Maka saat berita ini mencuat, berbagai syak wasangka dari masyarakat bermunculan. Tak jarang opini negatif yang muncul. Padahal sejatinya dosen hanya menagih hak yang diutang negara.
Kampus dan tambang? Polemik lagi. Apakah memang bangsa kita ditakdirkan untuk selalu berpolemik? Kita nantikan saja bagaimana serunya diskursus kampus masuk tambang ini ke depan.
Tunjangan kinerja tidak hanya perkara nasib dosen. Jauh lebih dari itu. Tunjangan kinerja sebagai salah satu komponen penghasilan dosen ASN, jika dibayarkan dari APBN, maka akan dapat mengurangi beban PNBP.
Kampus tak perlu harus terseok-seok membayar remunerasi jika PNBP cekak. Kampus tak perlu bingung berupaya menaikkan UKT. Tentu jika UKT naik, masyarakat luas jadi korbannya. Kampus tentu tak harus pusing mengorek-ngorek potensi penerimaan dari bisnis, yang kadang jauh menyimpang dari pendidikan. Apalagi bujuk rayu mengelola tambang.
Banyak yang pemikirannya tidak sampai ke sana. Polemik tunjangan kinerja dosen hanya dimaknai dosen yang minta kenaikan gaji. Sungguh pemikiran yang picik.
Sekali lagi, para pejabat Kemendikti Saintek perlu diskusi bahkan magang di Kementerian Agama. Jika perlu semua mantan menteri yang mengurusi pendidikan tinggi dihadirkan. Tidak mencari siapa yang salah. Namun mereka-mereka ini sudah sepantasnya mempertanggungjawankan jabatan yang sedang dan pernah mereka emban. Kopdar menteri, mantan menteri, dan magang di Kementerian Agama, merupakan jalan terang memadamkan api persoalan tunjangan kinerja dosen ini. (*)
S. Joko Utomo, Anggota ADAKSI (Asosiasi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia)
Artikel ini terbit pertama kali di Times Indonesia. Baca artikel sumber.