PLTU Masih Jadi Andalan, IESR Ungkap Alasan Indonesia Belum Bisa Ikuti Jejak Finlandia

oleh -30 Dilihat

Wanua.id – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Indonesia belum dapat mengikuti langkah Finlandia dalam menghentikan seluruh operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, terutama dalam waktu dekat. Hal ini disampaikan oleh Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, dalam wawancaranya bersama Tempo pada Rabu, 8 April 2025.

Deon menjelaskan, jumlah kapasitas terpasang PLTU di Indonesia berdasarkan data Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2023 mencapai sekitar 50 gigawatt. Angka ini bahkan diproyeksikan meningkat hingga mendekati 75-80 gigawatt pada tahun 2030 jika mengacu pada sistem PLN dan pembangkit captive. Berdasarkan RUKN, target kapasitas listrik nasional pada tahun tersebut ditetapkan sebesar 160 gigawatt, dengan porsi PLTU mencapai 47 persen atau sekitar 75 gigawatt.

“Jadi kendala utama untuk tidak mengoperasikan PLTU, ya karena jumlah kapasitas terpasangnya yang signifikan, komitmen politik yang kurang kuat, dan persepsi bahwa PLTU memberikan harga listrik termurah,” ujar Deon.

Menurutnya, pemerintah perlu memperkuat dukungan terhadap pengembangan energi terbarukan tanpa membebani sektor ini dengan tuntutan untuk bersaing langsung dengan PLTU dari sisi harga. Ia menambahkan, seharusnya peluang untuk mendorong energi terbarukan telah dimanfaatkan lebih serius sejak dekade 2010–2020. Kini, dengan kapasitas PLTU yang cukup besar dan beberapa di antaranya masih memiliki umur ekonomis panjang, biaya penghentian operasi menjadi sangat tinggi.

IESR mencatat, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar, yakni sekitar 3.600 gigawatt, dengan dominasi tenaga surya sebesar 3.300 gigawatt dan tenaga angin sekitar 60 gigawatt. “Kelebihan surya dan angin, secara teknis keduanya bisa dibangun dengan cepat sehingga scaling up bisa diakselerasi. Tinggal bagaimana perencanaan bisa didasarkan pada potensi ini,” katanya.

Deon juga menekankan pentingnya memperhatikan dampak kesehatan dari operasional PLTU. Menurut studi IESR, membiarkan PLTU beroperasi sesuai usia kontrak dapat menyebabkan kematian prematur hingga 300 ribu jiwa dan menimbulkan beban biaya kesehatan mencapai US$ 210 miliar. Namun, jika PLTU dipensiunkan secara bertahap sesuai dengan target Persetujuan Paris—yakni penghentian seluruh PLTU pada 2040–2045—potensi kematian prematur dapat dikurangi sebesar 180 ribu jiwa dan biaya kesehatan akibat polusi udara dari PLTU bisa ditekan hingga US$ 130 miliar.

“Penghentian PLTU bukan hanya soal transisi energi, tapi juga soal menyelamatkan nyawa dan menjaga kualitas hidup masyarakat,” tutup Deon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *