Wanua.id – Unggahan kritik Putra Mahkota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPAA Hamengkunegoro, yang menyatakan “Nyesel gabung Republik” melalui Instagram story pribadinya, telah menjadi sorotan publik. Unggahan tersebut tidak hanya menjadi viral di media sosial, tetapi juga memicu perdebatan luas tentang posisi Keraton Surakarta dalam dinamika politik dan sejarah Indonesia.
Menurut Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Hadiningrat, KPA H Dany Nur Adiningrat, kritik tersebut lahir dari keprihatinan mendalam terhadap berbagai permasalahan nasional yang kian meresahkan. Di antara isu yang disoroti adalah kasus Pertamax oplosan yang merugikan negara hampir Rp 1.000 triliun, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Sritex, kasus korupsi sektor pertambangan timah, serta kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tegas dalam menangani proyek pagar laut.
Namun, di balik kritik tersebut, ada narasi yang lebih dalam tentang hak-hak Keraton Surakarta yang hingga kini belum sepenuhnya diakui oleh pemerintah. Status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang dijanjikan, namun tak kunjung diberikan, serta aset-aset keraton yang masih dalam status tidak jelas, turut menjadi faktor yang melatarbelakangi unggahan tersebut. “Ini bukan hanya sekadar kritik spontan, tetapi bagian dari tuntutan sejarah yang telah lama disuarakan,” ujar Dany, Sabtu (1/3/2025).
KGPAA Hamengkunegoro juga sempat menuliskan “Percuma Republik Kalau Cuma Untuk Membohongi” dalam unggahan lainnya, sebelum akhirnya menghapus postingan tersebut. Namun, jejak digitalnya sudah menyebar luas di media sosial, termasuk unggahan ulang oleh berbagai akun Twitter dengan tagar #IndonesiaGelap.
Reaksi terhadap kritik ini pun beragam. Sebagian masyarakat melihatnya sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah, sementara yang lain menganggapnya sebagai sinyal untuk membuka kembali diskusi mengenai peran dan hak-hak Keraton Surakarta dalam tatanan negara modern.
“Pesan ini harus direspon dengan bijak. Ini bukan sekadar keluhan pribadi, melainkan ekspresi kepedulian terhadap tata kelola negara yang lebih baik. Seorang putra mahkota dengan latar belakang sejarah yang kuat tentu memiliki perspektif berbeda dalam melihat kondisi Indonesia saat ini,” tambah Dany.
Polemik ini kembali mengingatkan publik pada hubungan panjang antara Keraton Surakarta dan Republik Indonesia. Sejak penghapusan status daerah istimewa pada 1946, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembalikan hak-hak keraton. Namun, hingga kini, realisasi konkret dari janji-janji tersebut masih menjadi tanda tanya besar.
Pertanyaannya kini, apakah kritik ini akan menjadi momentum untuk meninjau ulang status Keraton Surakarta dalam sistem pemerintahan Indonesia, atau sekadar menjadi riak dalam dinamika politik nasional yang terus bergerak?