Efisiensi atau Amputasi? Pemangkasan Anggaran Pendidikan yang Mengiris Masa Depan Bangsa

oleh -131 Dilihat

oleh : Asep Rahman (Dosen Universitas Sam Ratulangi)

Pemangkasan anggaran sepatutnya seperti diet yang sehat, dilakukan perlahan, dengan perhitungan yang matang, tanpa mengorbankan gizi esensial. Memotret kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah baru-baru ini, seakan tindakan amputasi tanpa anestesi, menyakitkan dan berisiko fatal. Terkhusus, dunia pendidikan, pemotongan anggaran bukan lagi sekadar soal angka di atas kertas, melainkan soal nasib jutaan anak yang menggantungkan harapannya.

Alasan efisiensi yang kini dijadikan tameng untuk kebijakan justru dapat menggerogoti inti dari investasi jangka panjang, yakni pendidikan. Sebab, anggaran pendidikan dipangkas tanpa perhitungan matang, sejatinya kita tidak sedang menghemat uang, tapi juga memangkas mimpi dan asa anak-anak bangsa ini, yang akan menjadi generasi emas kita menyonsong 1 abad negeri ini merdeka pada 2045. Bayangkan, apa jadinya jika sekolah-sekolah tanpa perpustakaan yang layak, guru dan dosen yang masih harus berjuang dengan gaji minim, serta siswanya yang belajar dalam keterbatasan fasilitas. Bukankah ini sama saja dengan mengorbankan masa depan?

Komposisi anggaran yang tidak disusun dengan riset mendalam seperti peta yang digambar tanpa kompas. Hasilnya? Kebijakan yang asal potong, tanpa melihat dampak jangka panjangnya. Jika pendidikan diperlakukan sebagai sektor yang bisa dikorbankan, bagaimana kita bisa berharap pada generasi yang cerdas, inovatif, dan siap menghadapi tantangan zaman?

Lebih dari sekadar kebijakan, pemangkasan anggaran pendidikan bisa menjadi pelanggaran konstitusi. Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 jelas mengamanatkan bahwa: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Angka 20% ini bukan sekadar mandatory spending, ini adalah jantung yang menghidupkan sistem pendidikan kita. Jika anggaran ini dipotong, yang dikorbankan bukan hanya rupiah, tetapi kesempatan belajar, kualitas tenaga pendidik, dan akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Ketika investasi pendidikan dipangkas, itu sama saja dengan membiarkan rumah kita roboh perlahan.

Seharusnya, pendidikan tetaplah menjadi prioritas utama, bukan sekadar pos anggaran yang bisa disesuaikan sesuka hati. Efisiensi anggaran harusnya dilakukan dengan kepala dingin dan hati yang peduli, bukan dengan kebijakan yang sekadar ingin memangkas tanpa memikirkan dampaknya. Sebab, mengiris anggaran pendidikan sama saja dengan mengiris masa depan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *