oleh : Asep Rahman (Dosen Universitas Sam Ratulangi)
Banyak orang menganggap pekerjaan sebagai seorang dosen merupakan karir yang sangat cemerlang. Berada pada lingkungan akademis, terus berkembang, bahkan berkesempatan membangun jejaring di luar lingkungan akademisnya. Nyatanya, tidak seindah yang dibayangkan sebagian besar orang, berkarir sebagai seorang dosen tentu tak semulus itu.
Aku sendiri mulai berkesimpulan bahwasanya selemah-lemahnya iman adalah seorang dosen. Kalimat ini mungkin terdengar kurang pantas, bahkan mungkin menyinggung bagi sebagian orang, terutama teman-teman seprofesi saya yang juga dosen. Tentu simpulan ini berangkat dari realita yang terjadi di lingkungan akademik, khususnya di Konoha Indonesia, ungkapan ini seolah punya benang merah yang sulit diputus.
Iman, dalam konteks kali ini tentu bukan sekadar soal keyakinan religius. Iman berangkat dari tentang keberanian untuk memperjuangkan apa yang diyakini benar. Iman merupakan tentang konsistensi antara pikiran, perkataan, dan tindakan.
Dosen, sebagai insan akademis, selayaknya berada di garda terdepan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan, kemampuan analisis kritis, dan posisi strategis untuk membawa perubahan. Tapi, realitanya, banyak dosen yang justru terjebak dalam zona nyaman, dimana melihat ketidakadilan, merasa prihatin, tapi memilih untuk diam. Diam, bukan karena tidak tahu, tapi karena takut.
Ketakutan itu bisa dimengerti. Dosen, seperti manusia pada umumnya, punya keluarga yang harus dihidupi, karier yang harus dijaga, dan masa depan yang harus dipikirkan. Ketika ada kebijakan yang tidak adil, seperti tunjangan kinerja yang tak kunjung dibayar, atau sistem kerja yang membebani, banyak dosen yang memilih untuk diam. Mereka tahu itu salah, mereka tahu itu merugikan, tapi suara mereka tak terdengar. Kritis dalam hati, tapi bisu di ruang publik.
Ini bukan soal malas atau tidak peduli. Ini soal keberanian. Berbicara, apalagi melawan arus, selalu ada risikonya. Risiko dianggap sebagai pembangkang, risiko diasingkan, atau bahkan risiko kehilangan pekerjaan. Tapi, di sisi lain, diam juga ada risikonya. Diam berarti membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Diam berarti mengorbankan prinsip dan integritas.
Saya pernah berbicara dengan seorang dosen senior di kampus saya. Beliau bercerita tentang bagaimana dirinya dan rekan-rekannya sering merasa frustrasi dengan sistem yang tidak adil di dalam kampus. Tapi, ketika ditanya balik kenapa tidak bersuara, beliau hanya menghela napas. “Kami masih punya tanggung jawab pada keluarga,” katanya. Alasan yang manusiawi, tapi sekaligus menyedihkan.
Namun, apakah ini berarti semua dosen seperti ini? Tentu tidak. Masih ada dosen-dosen yang berani bersuara, yang berani memperjuangkan hak-hak mereka dan juga hak-hak mahasiswanya. Masih ada yang tidak takut menghadapi konsekuensi. Tapi, memang jumlahnya tidak banyak. Sebagian besar memilih untuk diam, memilih untuk tidak mengambil risiko. Dan inilah yang membuat ungkapan “selemah-lemahnya iman adalah dosen” terasa begitu relevan.
Padahal, kampus sebagai tempatnya dia bekerja merupakan lingkungan yang seharusnya aman bagi siapa saja untuk bersuara. Institusi pendidikan harus memberikan ruang bagi kritik dan masukan, tanpa ancaman atau intimidasi. Seorang dosen juga perlu menyadari kembali jikalau mereka punya peran yang lebih besar daripada sekadar mengajar di kelas. Mereka adalah agen perubahan, dan perubahan tidak akan terjadi jika mereka hanya diam.
Iman bukan hanya tentang keyakinan, tapi juga tentang keberanian untuk bertindak. Jika dosen ingin dihormati sebagai insan akademis, mereka harus menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memiliki pengetahuan, tapi juga integritas untuk memperjuangkan kebenaran.
Mungkin, ungkapan itu perlu kita renungkan bersama. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengingatkan, bahwa iman plus pengetahuan tanpa tindakan, pada dasarnya tetaplah kosong. Kita tengah berada di tengah fenomena mengkhawatirkan, dimana suara influencer seringkali lebih didengar daripada suara para akademisi. Makanya, kita patut bertanya kembali, dimana posisi dosen dalam pusaran perubahan ini? Jika mereka diam, siapa yang akan bersuara? Jika mereka takut, siapa yang akan berani?
Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang dosen, tapi tentang kita semua. Iman yang tidak diwujudkan dalam tindakan, adalah iman yang kering. Mari kita saling mengingatkan dan memastikan bahwa suara-suara yang berani tidak tenggelam dalam kebisuan.