Wanua.id – Setelah bertahun-tahun menunggu kepastian, akhirnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) mengumumkan bahwa Tunjangan Kinerja (Tukin) bagi dosen tahun 2025 akan dicairkan. Persetujuan dari Presiden Republik Indonesia pada Selasa (11/3) seolah menjadi angin segar bagi para akademisi. Namun, pertanyaannya: benarkah pencairan ini akan berjalan mulus, atau sekadar janji manis yang berulang?
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, dalam pertemuan dengan Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek (Adaksi) mengklaim bahwa keputusan ini telah melalui berbagai pertimbangan lintas kementerian. “Kami memahami betapa pentingnya Tukin bagi dosen sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi dan kontribusi mereka dalam dunia pendidikan,” ujarnya.
Menteri Brian sendiri mengakui bahwa pencairan ini masih membutuhkan sinkronisasi dengan beberapa kementerian terkait. “Kami berharap setelah ABT dibuka, proses pencairan ini dapat segera dilakukan. Tapi tentu saja ada prosedur yang harus dilalui,” tambahnya.
Pernyataan ini justru menimbulkan kekhawatiran baru. Apakah pencairan ini akan benar-benar terwujud tanpa kendala atau kembali tersendat oleh alasan administratif? Sejumlah dosen berharap pemerintah tidak lagi memberikan harapan palsu yang hanya membuai tanpa realisasi.
Selain itu, pertemuan ini juga menyoroti berbagai isu lain terkait kesejahteraan dosen, mulai dari kepangkatan hingga dana penelitian yang sering kali tidak sebanding dengan tuntutan akademik yang semakin tinggi. Sayangnya, isu-isu ini sering kali hanya menjadi sekadar agenda diskusi tanpa langkah nyata.
Boyke Rorimpandey, dosen Universitas Sam Ratulangi, dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan status Badan Layanan Umum (BLU) yang menerima remunerasi (remun) turut mengungkapkan kegelisahannya. “Semoga bukan hanya untuk dosen PTN Satker dan BLU non-remun. Karena di PTN BLU yang menerima remun, nominalnya sangat kecil dan tidak sebanding dengan beban kerja kami,” ujarnya.
Lebih jauh, Boyke juga menyampaikan kekhawatiran bahwa ketidakadilan dalam pembayaran Tukin akan semakin nyata, jika tidak diberlakukan untuk semua dosen. Beliau juga menyebutkan bahwasanya banyak dosen yang mengeluhkan sistem remunerasi yang terkesan jauh dari kata adil. “Kami dipaksa menerima remunerasi yang jauh dari layak, sementara di sisi lain, ada yang mendapatkan Tukin dengan jumlah yang lebih layak. Di mana keadilan dalam sistem seperti ini?” ungkapnya dengan kritis.