Asia Land Forum 2025, Janji Percepatan Reforma Agraria atau Sekadar Wacana?

oleh -53 Dilihat

Wanua.id – Hari pertama Asia Land Forum 2025 di Jakarta menghasilkan kesepakatan bersama untuk mempercepat implementasi reforma agraria di Indonesia. Kesepakatan ini ditandatangani oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil serta kementerian dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Namun, di tengah euforia deklarasi ini, masih banyak pertanyaan mengenai komitmen nyata pemerintah dalam menindaklanjuti janji reforma agraria yang selama ini kerap mandek di tahap kebijakan.

Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan, Budiman Sudjatmiko, menyebut reforma agraria sebagai syarat utama bagi Indonesia untuk menjadi negara maju, mencontoh Jepang dan Korea Selatan. Ia menegaskan bahwa kesepakatan yang diteken oleh lebih dari 500 peserta dari 15 negara Asia ini harus dianggap sebagai status darurat. Namun, apakah deklarasi ini akan benar-benar dieksekusi atau hanya menjadi dokumen seremonial yang berakhir tanpa tindakan nyata?

“Presiden Prabowo sudah memerintahkan agar pengentasan kemiskinan ekstrem dilakukan dengan memberikan akses tanah kepada rakyat. Kalau perlu, dengan dekret presiden,” ujar Budiman dalam konferensi pers di Jakarta Barat. Pernyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah siap menghadapi kepentingan besar yang selama ini menghambat reforma agraria?

Dalam acara ini, sejumlah pejabat pemerintah turut menandatangani kesepakatan, termasuk Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Ossy Dermawan; Direktur Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, F.X Nugroho Setijo Nagoro; serta Deputi Bidang Pengembangan Talenta dan Daya Saing Koperasi Kementerian Koperasi. Kehadiran mereka memberikan sinyal bahwa pemerintah memiliki niat untuk mendorong perubahan, tetapi sejauh mana realisasi dari niat tersebut?

Di sisi lain, organisasi sipil yang selama ini vokal dalam isu agraria, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan Sajogyo Institute, turut menandatangani kesepakatan ini. Dewi Kartika dari KPA menekankan pentingnya pengakuan terhadap lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang bisa didorong melalui dekret presiden. “Mengingat urgensi dan tingkat kedaruratan konflik agraria, dibutuhkan pendekatan dan strategi ekstra-ordinary,” ujarnya. Namun, tanpa keberanian politik untuk menghadapi kepentingan korporasi besar dan elit tanah, apakah LPRA hanya akan menjadi data tanpa implementasi?

Wakil Menteri ATR Ossy Dermawan menyatakan bahwa reforma agraria membutuhkan kolaborasi lintas kementerian dan pemangku kepentingan. “Itu komponen utama dalam upaya negara menjamin hak atas tanah,” katanya. Namun, selama ini koordinasi lintas sektor sering menjadi kendala utama dalam realisasi reforma agraria. Bahkan, Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR, Yulia Jaya Nurmawatir, mengakui bahwa penyelesaian masalah agraria masih terhambat oleh ego sektoral yang menghambat koordinasi lintas lembaga.

Janji dan kesepakatan dalam forum ini memang tampak ambisius. Penyusunan peta jalan dan rencana aksi yang mencakup penyelesaian konflik agraria, redistribusi lahan untuk petani kecil, dan penguatan kebijakan reforma agraria nasional melalui legislasi menjadi bagian dari agenda besar yang disepakati. Namun, tanpa pengawasan ketat dan tekanan dari masyarakat sipil, bukan tidak mungkin kesepakatan ini hanya menjadi bagian dari rangkaian forum-forum sebelumnya yang penuh wacana tetapi minim aksi.

Kesepakatan Asia Land Forum 2025 ini menandai babak baru dalam perjuangan reforma agraria. Namun, akankah ini menjadi tonggak sejarah atau sekadar ritual politik tahunan? Publik masih menunggu, apakah pemerintah benar-benar berani melawan kepentingan besar demi hak tanah rakyat, atau hanya sekadar mengulang janji yang tak kunjung terealisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *