Diskusi Terpumpun Bahas Revisi UU Kehutanan, Soroti Deforestasi dan Hak Masyarakat Adat

oleh -37 Dilihat

Wanua.id – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tengah digodok DPR mendapat dukungan sekaligus catatan dari berbagai pihak dalam forum diskusi terpumpun yang diselenggarakan Yayasan Kehati bersama Forum Dialog Konservasi Indonesia, Selasa, 18 Maret 2025.

Diskusi bertajuk Menavigasi Rencana Revisi UU Kehutanan itu dihadiri oleh dua anggota Komisi bidang Kehutanan DPR, enam ahli hukum dan lingkungan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, serta lebih dari 200 perwakilan organisasi masyarakat sipil. Dalam pertemuan tersebut, berbagai aspek revisi UU Kehutanan dibahas, termasuk tantangan ekologi, sosial, dan ekonomi yang semakin kompleks di tengah krisis iklim.

Koordinator Forum Dialog Konservasi Indonesia, Muhamad Burhanudin, menekankan urgensi pembaruan regulasi kehutanan untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini. “UU Nomor 41/1999 dibuat lebih dari dua dekade lalu dan kini tak lagi relevan dalam menghadapi ancaman deforestasi, degradasi hutan, dan meningkatnya konflik agraria,” ujar Burhanudin dalam keterangan tertulis usai diskusi.

Ia mencatat bahwa dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan lebih dari 33,9 juta hektare hutan, dengan deforestasi mencapai 28,04 juta hektare dalam dua dekade terakhir. Alih fungsi hutan yang masif juga berkontribusi terhadap tingginya emisi karbon, dengan rata-rata pelepasan 930 juta ton CO2 per tahun.

“Ironisnya, banyak pelanggaran kehutanan tidak mendapat hukuman yang setimpal akibat lemahnya sanksi dalam UU serta buruknya penegakan hukum,” tambah Burhanudin, yang juga menjabat sebagai Manajer Kebijakan Lingkungan di Yayasan Kehati.

Anggi Prayoga dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan bahwa UU Nomor 41 Tahun 1999 telah beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa putusan MK, terutama terkait hak masyarakat adat, legalitas kawasan hutan, serta perlindungan terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan, mengindikasikan perlunya pembaruan kebijakan kehutanan.

“Belum maksimalnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal menjadi catatan serius. Mereka sering kesulitan memperoleh pengakuan atas hak atas tanah mereka dan bahkan mengalami kriminalisasi,” ujar Anggi. Ia menambahkan bahwa Putusan MK 35 Tahun 2012 harus menjadi pertimbangan utama dalam revisi UU Kehutanan yang baru.

Selain itu, tumpang tindih regulasi dengan UU lain, seperti UU Cipta Kerja, dinilai turut memperburuk tata kelola hutan di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas dalam perizinan serta pengawasan pengelolaan hutan masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan.

Diskusi tersebut juga menyoroti kelemahan dalam penegakan hukum, yang menyebabkan praktik ilegal seperti pembalakan liar, perambahan hutan, dan pembakaran lahan terus terjadi tanpa sanksi yang memadai. Lemahnya regulasi juga memberi jalan bagi eksploitasi sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan, termasuk ekspansi perkebunan dan pertambangan skala besar.

Ayut Enggeliah dari Sawit Watch Indonesia menyatakan bahwa revisi UU Kehutanan harus berorientasi pada keberlanjutan dan inklusivitas. “Dengan revisi yang lebih inklusif dan berbasis keberlanjutan, Indonesia dapat mengambil langkah signifikan dalam melindungi ekosistem hutan, memperkuat hak-hak masyarakat adat, serta memastikan pembangunan yang tidak mengorbankan kelestarian alam,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *