Wanua.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen merupakan hasil perjuangan empat mahasiswa asal Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keempat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Mereka sebelumnya mengajukan gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. Pada Kamis, 2 Januari 2025, MK akhirnya mengabulkan gugatan mereka dalam perkara 62/PUU/XXII/2024.
Putusan ini dianggap bersejarah karena gugatan serupa yang diajukan pihak lain sebelumnya selalu ditolak oleh MK. Para mahasiswa ini menegaskan bahwa tidak ada motif politik di balik upaya mereka. Baik mereka maupun keluarga masing-masing tidak memiliki latar belakang politik, dan bahkan orang tua mereka pun sebagian besar tidak memahami seluk-beluk hukum dan politik.
Enika Maya Oktavia, salah satu pemohon, mengungkapkan bahwa keluarganya sama sekali tidak memiliki keterlibatan dalam partai politik. Ia adalah orang pertama di keluarganya yang belajar di bidang hukum. Ia menambahkan bahwa selama masa kuliah, ia dan rekan-rekannya juga tidak terlibat dalam gerakan politik praktis apa pun dan tidak memiliki niat untuk bergabung dengan partai politik di masa mendatang.
Rizki Maulana Syafei menyatakan bahwa tujuan mereka mengajukan gugatan tersebut adalah untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Menurutnya, upaya ini murni demi demokrasi yang lebih inklusif dan bukan untuk kepentingan pribadi atau politik kelompok tertentu.
Faisal Nasirul Haq, mahasiswa lain yang turut menggugat, menyampaikan rasa syukur atas dikabulkannya gugatan mereka. Ia berharap putusan ini dapat membawa warna baru dalam praktik demokrasi di Indonesia. Meskipun peluang untuk terjun ke dunia politik kini terbuka lebar, Faisal mengaku lebih tertarik untuk berkontribusi di dunia pendidikan dan pemikiran.
Sementara itu, Tsalis Khoirul Fatna menegaskan bahwa keterlibatan mereka dalam gugatan ini semata-mata dilandasi oleh kepedulian terhadap keadilan dalam proses pemilihan pemimpin nasional. Ia mengakui bahwa keluarganya pun tidak memiliki pemahaman mendalam tentang presidential threshold, namun hal itu tidak menghalangi semangatnya untuk memperjuangkan perubahan.
Keempat mahasiswa ini percaya bahwa putusan MK yang mereka perjuangkan dapat menjadi tonggak penting bagi demokrasi Indonesia. Mereka berharap lebih banyak pihak dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik tanpa hambatan aturan yang dianggap membatasi kesempatan calon pemimpin bangsa.