Wanua.id, Korea Selatan – Penutupan negosiasi kelima Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) tentang Plastik atau Global Plastics Treaty pada Minggu, 1 Desember 2024, menuai sorotan tajam terhadap posisi Indonesia. Aliansi Zero Waste Indonesia dan sejumlah organisasi lingkungan menilai sikap Indonesia kurang ambisius dalam mendorong solusi untuk pencemaran plastik yang telah menjadi masalah global.
Aliansi Zero Waste Indonesia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap usulan delegasi Indonesia terkait perubahan judul Pasal 7 dalam Teks Chair Non-Paper, yang mengganti “Emissions and Releases” menjadi “Releases and Leakages.” Langkah ini dianggap berfokus pada pengelolaan sampah daripada pengendalian pencemaran dari produksi plastik di hulu. “Ini berpotensi mengalihkan tanggung jawab dari industri plastik kepada publik,” kata Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi.
Menurut Ghofar, posisi ini mencerminkan keberpihakan pada industri plastik dan bukan pada kepentingan masyarakat. “Perjanjian ini bukan hanya soal pengelolaan sampah, tetapi tentang memastikan keberlanjutan hidup masyarakat yang terdampak langsung oleh pencemaran plastik,” tambahnya.
Selain itu, Nindhita Proboretno, Co-Coordinator Nasional Aliansi Zero Waste Indonesia, menyoroti proyeksi peningkatan produksi plastik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. “Dengan tingkat produksi plastik yang terus naik, seharusnya Indonesia memiliki peran strategis dalam mendorong solusi global, bukan justru mendukung ekspansi produksi,” ujarnya.
Kritik lain datang dari Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation. Ia menyesalkan pembatasan partisipasi masyarakat sipil dalam negosiasi INC-5, termasuk akses terbatas ke sesi penting seperti pertemuan regional dan kelompok kerja. “Suara masyarakat sipil Indonesia yang memiliki pengalaman dan keahlian justru diabaikan. Ini sangat menghambat tercapainya perjanjian plastik yang ambisius,” tegas Yuyun.
Meskipun lebih dari 100 negara mendukung target global untuk mengurangi produksi plastik, Indonesia dianggap belum menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap pengendalian pencemaran plastik dari hulu ke hilir. Kritik ini menjadi pengingat penting bahwa negosiasi semacam ini bukan hanya soal kepentingan ekonomi atau industri, tetapi juga tentang masa depan lingkungan dan kesehatan masyarakat.