oleh : Asep Rahman (Founder Lentera Sehat Indonesia)
Kita semua tahu bahwasanya sehat adalah hak dasar setiap orang. Namun, ketika “surat keterangan berbadan sehat” digunakan sebagai syarat administratif untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik, muncul pertanyaan penting: apakah ini melindungi integritas proses atau justru membatasi hak politik seseorang? Paradigma sehat memandang sehat dan sakit tidak sekedar hitam dan putih semata. Status sehat lebih bersifat dinamis, serta perlu upaya berkelanjutan untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya, bukan sekadar kondisi statis yang dapat diukur pada satu waktu tertentu.
Dalam konteks ini, banyak hal patut dipertanyakan. Misalnya, apakah seorang individu dengan penyakit bawaan otomatis kehilangan kesempatan untuk menjadi gubernur atau bupati? Bagaimana dengan mereka yang terlahir dengan disabilitas? Mereka yang telah divonis HIV/AIDS apakah kesempatan mereka untuk mengabdi juga harus hilang? Bukankah ini juga merupakan bagian dari stigma? Jika aturan ini diterapkan secara kaku, bukankah ini berpotensi mendiskriminasi dan menghalangi akses terhadap demokrasi yang seharusnya inklusif?
Kesehatan: Lebih dari Sekadar Fisik
Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mencakup kesejahteraan fisik, mental, dan sosial, bukan hanya ketiadaan penyakit. Sayangnya, surat keterangan berbadan sehat sering kali mereduksi konsep ini menjadi sekadar pemeriksaan fisik. Bahkan, dalam banyak kasus, surat ini hanya menjadi formalitas administratif yang hasilnya jarang diungkapkan secara terbuka.
Fakta ini menimbulkan kekhawatiran. Seorang calon pemimpin mungkin dinyatakan sehat secara fisik, tetapi apakah kesehatan mental dan sosialnya juga dipertimbangkan? Sebaliknya, apakah seseorang dengan kondisi fisik tertentu otomatis dianggap tidak layak memimpin, meskipun memiliki kapasitas intelektual dan jiwa kepemimpinan yang luar biasa?
Pelajaran dari Pilkada Maluku Utara
Contoh nyata terlihat dalam Pilkada Maluku Utara, di mana Sherly Tjoanda, seorang calon yang mendapatkan dukungan luas, menghadapi gugatan terkait kelulusan surat keterangan berbadan sehatnya. Pada saat kampanye, Sherly terlihat menggunakan kursi roda dengan kaki yang diperban. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi kemampuannya untuk memikat hati masyarakat dan menawarkan visi kepemimpinan yang inspiratif.
Namun, gugatan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah surat keterangan berbadan sehat benar-benar menjadi tolok ukur kemampuan seseorang untuk memimpin? Apakah mekanisme pemeriksaan ini transparan dan objektif, ataukah sekadar formalitas administratif yang hasilnya tersimpan sebagai rahasia medis?
Jika surat ini hanya formalitas, apa manfaatnya dalam proses seleksi calon pemimpin? Tidak ada jaminan bahwa calon yang dinyatakan “sehat” secara administratif benar-benar memenuhi makna kesehatan dalam arti yang lebih luas.
Hak Politik adalah Hak Semua Orang
Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghargai inklusivitas. Hak politik harus dilindungi tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan kondisi kesehatan atau disabilitas. Sama seperti hak untuk sehat, hak politik adalah milik semua orang. Tidak seharusnya aturan administratif menghalangi individu yang memiliki potensi untuk memimpin, hanya karena mereka tidak memenuhi standar kesehatan yang terlalu sempit.
Saatnya kita merevisi cara pandang terhadap surat keterangan berbadan sehat dalam konteks politik. Pemimpin yang ideal bukanlah mereka yang hanya memiliki tubuh yang sempurna, melainkan mereka yang memiliki jiwa yang kuat, komitmen yang tinggi, dan keinginan tulus untuk melayani masyarakat. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang membuka pintu bagi semua orang untuk berpartisipasi, tanpa diskriminasi atas nama “kesehatan.”