Wanua.id – Perjuangan dosen aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk mendapatkan tunjangan kinerja (tukin) semakin meluas. Tidak hanya dosen di satuan kerja (satker), tetapi juga mereka yang berada di Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) menyuarakan aspirasi yang sama: tukin for all tanpa diskriminasi.
Selama ini, pemerintah beranggapan bahwa PTN BLU dan PTN BH memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memberikan remunerasi kepada dosen ASN mereka. Namun, kenyataannya tidak demikian. Tidak semua PTN mampu mencari sumber pendapatan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beberapa mampu memberikan remunerasi besar, sementara yang lain hanya dapat memberikan dalam jumlah terbatas, atau bahkan tidak sama sekali.
Ketidakadilan ini mendorong Forum Dosen ASN Universitas Hasanuddin di Makassar, sebagai salah satu PTN BH, untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh dosen ASN. Mereka mendesak senat akademik dan pimpinan universitas, bersama dengan jejaring PTN BH lainnya, untuk mendorong kebijakan tukin for all yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Adnan Nasution, perwakilan Forum Dosen ASN Universitas Hasanuddin, dikutip dari Kompas, menegaskan bahwa tukin adalah hak dosen berdasarkan Undang-Undang ASN. “Tukin bukan sekadar tunjangan tambahan, tetapi hak yang melekat sebagai PNS. Kami memiliki kartu pegawai dan nomor induk pegawai negeri. Maka, sudah seharusnya kami mendapatkan tunjangan kinerja layaknya ASN di instansi lain,” ujar Adnan, Senin (24/2/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tunjangan sertifikasi dosen (serdos) tidak bisa dianggap sebagai pengganti tukin. “Serdos adalah tunjangan pengakuan profesional sebagai pendidik, bukan sebagai pengganti tunjangan kinerja. Ini adalah dua hal yang berbeda,” tegasnya.
Perjuangan tukin for all bukan sekadar soal keadilan bagi dosen, tetapi juga untuk melindungi mahasiswa. Jika perguruan tinggi tidak mendapatkan dukungan tukin dari APBN, PTN BLU dan PTN BH mungkin akan terpaksa menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) demi membayar remunerasi dosen. Hal ini bisa berdampak buruk bagi akses pendidikan tinggi yang lebih terjangkau.
“Sebaliknya, kebijakan tukin for all harus berasal dari APBN yang lebih berkeadilan, sehingga kesejahteraan dosen ASN di seluruh PTN dapat terjamin tanpa membebani mahasiswa,” tambah Adnan.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi telah menyatakan bahwa anggaran tukin dosen ASN akan dialokasikan sebesar Rp 2,5 triliun pada tahun 2025. Namun, jumlah tersebut belum mencakup seluruh dosen ASN yang seharusnya mendapatkan tunjangan ini. Besaran tukin yang direncanakan pun bervariasi, mulai dari Rp 5.079.200 untuk asisten ahli (kelas jabatan 9) hingga Rp 19.280.000 untuk profesor (kelas jabatan 15).
Namun, bagi Koordinator Nasional Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek (Adaksi), Anggun Gunawan, perjuangan ini belum selesai. “Siapa pun menterinya, Adaksi akan terus memperjuangkan tukin for all. Ini bukan hanya tentang keadilan bagi dosen, tetapi juga menyelamatkan mahasiswa dari beban UKT yang lebih tinggi serta menciptakan relasi yang lebih sehat antara PTN dan PTS,” tegasnya.
Boyke Rorimpandey, perwakilan ADAKSI Sulawesi Utara, menambahkan bahwa keresahan akan ketidakadilan ini juga dirasakan oleh dosen-dosen Universitas Sam Ratulangi sebagai PTN BLU yang telah menjalankan remunerasi. Menurutnya, sistem remunerasi yang ada saat ini sangat tidak sepadan dengan tukin yang seharusnya diterima. “Kami juga merasakan hal yang sama. Jika sistem remunerasi tidak diperbaiki, maka dosen di PTN BLU dan PTN BH akan semakin tertinggal dalam hal kesejahteraan dibandingkan dengan ASN lainnya,” ujarnya.
Dengan semakin luasnya gerakan ini, tuntutan tukin for all tidak lagi bisa diabaikan. Para dosen ASN di seluruh PTN, baik satker, BLU, maupun BH, kini semakin solid dalam menyuarakan hak mereka. Apakah pemerintah akan benar-benar merealisasikan tuntutan ini atau membiarkan ketimpangan terus berlanjut? Jawabannya akan sangat menentukan masa depan dunia akademik Indonesia.