Wanua.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh menjadi alasan bagi perguruan tinggi untuk menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Langkah ini (efisiensi anggaran) tidak boleh, saya ulangi, tidak boleh mempengaruhi keputusan perguruan tinggi mengenai UKT,” tegasnya dalam rapat di DPR RI pada 14 Februari 2025.
Namun, di tengah peringatan pemerintah tersebut, potensi kenaikan UKT masih menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan mahasiswa. Dalam pertemuan virtual bersama ADAKSI se-Sulawesi Utara pada 15 Februari 2025, Ketua ADAKSI Nasional, Fatimah, menyebutkan bahwa kenaikan UKT tetap berpotensi terjadi akibat kebijakan terkait tunjangan kinerja (Tukin) bagi dosen.
Menurut Fatimah, sistem yang berlaku saat ini justru menciptakan ketimpangan, di mana Tukin lebih tinggi dibandingkan Remun. Hal ini membebani keuangan perguruan tinggi dan mendorong mereka untuk mencari sumber pendanaan tambahan.
“Kenaikan UKT itu adalah cara mereka untuk membayarkan remunerasi (yang sesuai), kecuali pemerintah memberikan subsidi melalui APBN,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa ketimpangan pembayaran Tukin hanya diberikan kepada dosen di PTN Satker, PTN BLU yang belum menerapkan remunerasi, serta dosen LLDIKTI. Sehingga dosen-dosen yang tergabung dalam PTNBH dan PTN BLU yang sudah menerapkan remunerasi dipastikan belum mendapatkan tunjangan kinerja tahun ini. “Menjadi BLU itu bukan karena pilihan, tapi karena himpitan,” tambahnya, mengkritik BLU yang sudah menerapkan remunerasi tetapi dengan jumlah yang jauh di bawah Tukin, sehingga banyak dosen yang akan sangat dirugikan oleh kebijakan ini.
Fatimah memperingatkan bahwa mahasiswa kemungkinan besar akan menolak kenaikan UKT, sebagaimana yang terjadi tahun sebelumnya. “Mereka pasti akan menolak, dan jika kenaikan benar-benar diberlakukan, bukan tidak mungkin akan ada gelombang demonstrasi,” katanya.
Sebelumnya, I Wayang Sathya Tirtayasa dari Gerakan Mahasiswa Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (FRONTIER) juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap potensi kenaikan UKT. Ia menilai bahwa pemangkasan bantuan operasional perguruan tinggi dapat menyebabkan kekurangan anggaran, sehingga solusi tercepat yang kemungkinan diambil kampus adalah menaikkan UKT.
“Jika ini terjadi, akses pendidikan murah di negeri ini akan menjadi angan-angan belaka. Selain itu, kenaikan UKT juga bisa meningkatkan risiko mahasiswa putus kuliah,” ungkapnya.