Wanua.id – Di tengah gencarnya rencana Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop) untuk menyeleksi koperasi yang akan mengelola tambang, muncul pertanyaan besar: apakah ini langkah maju atau justru kemunduran dalam upaya membangun ekonomi berkelanjutan? Alih-alih mendorong eksploitasi sumber daya yang tidak terbarukan, mengapa koperasi tidak diarahkan untuk menjadi garda depan dalam pengembangan energi hijau?
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa seleksi koperasi bertujuan memastikan kepatuhan terhadap prinsip koperasi dan mencegah praktik koperasi fiktif. Namun, langkah ini justru menimbulkan kekhawatiran bahwa koperasi akan terseret ke dalam industri yang sarat dengan kontroversi lingkungan dan sosial. Dengan modal besar yang dibutuhkan, koperasi bahkan dipersilakan bekerja sama dengan BUMN dan swasta melalui skema multi pihak, semakin menegaskan bahwa tambang bukanlah ranah usaha kecil yang mandiri.
Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengungkapkan bahwa hampir 20 koperasi telah mengajukan izin mengelola pertambangan mineral dan batu bara (minerba), menyusul pengesahan perubahan keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba pada 18 Februari 2025. Regulasi ini memberikan jalan bagi koperasi, organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, serta usaha kecil dan menengah (UKM) untuk masuk ke industri tambang.
Namun, di balik euforia koperasi tambang, pemerhati lingkungan mempertanyakan mengapa energi terbarukan tidak menjadi prioritas. Team Leader 350 Indonesia, Sisilia Nurmala, menilai bahwa koperasi dan UKM justru lebih cocok menjadi pemain utama dalam pengembangan energi hijau ketimbang terjun ke sektor yang merusak lingkungan.
“Jika dalihnya adalah membuka akses bagi masyarakat melalui koperasi, UKM, dan BUMD, seharusnya energi terbarukan yang lebih didorong dengan regulasi yang memudahkan,” tegas Sisilia dalam siaran pers pada Kamis (20/2/2025).
Data berbicara: Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 3.294,4 gigawatt (GW), tetapi hanya 0,01 persen yang dimanfaatkan. Potensi energi angin sebesar 154,9 GW dan energi air sebesar 94,5 GW juga baru dimanfaatkan masing-masing 0,1 persen dan 7 persen. Jika energi terbarukan digarap dengan serius, koperasi dan masyarakat dapat berkontribusi besar dalam transisi energi hijau yang berkelanjutan.
Dengan realitas ini, pertanyaan mendesak yang harus dijawab: apakah pemerintah benar-benar ingin membangun ekonomi berbasis keberlanjutan, atau hanya terjebak dalam siklus eksploitasi sumber daya alam yang sudah usang? Dorongan terhadap koperasi untuk masuk ke bisnis tambang bisa jadi bukan solusi, melainkan jebakan yang berisiko besar bagi masa depan lingkungan dan kesejahteraan rakyat. Saatnya mengubah arah—dari eksploitasi menuju inovasi energi bersih yang sesungguhnya.