Wanua.id – Di era digital yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari, istilah brain rot kian populer dan menjadi perhatian. Istilah ini mengacu pada penurunan kualitas mental atau intelektual akibat konsumsi konten dangkal atau tidak menantang yang sering ditemukan di platform daring. Fenomena ini tak hanya sekadar istilah tren, tetapi juga memicu kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kesehatan mental, khususnya di kalangan generasi muda.
Istilah brain rot awalnya diperkenalkan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya Walden (1854). Thoreau mengkritik kebiasaan masyarakat yang memilih ide sederhana dibanding gagasan yang menantang. Namun, di era digital, istilah ini berkembang untuk menggambarkan dampak buruk dari konsumsi konten berkualitas rendah di media sosial dan platform hiburan.
Selama 2023-2024, penggunaan istilah ini meningkat hingga 230 persen. Generasi Z dan Alpha menjadi kelompok yang paling sering menggunakan istilah ini, khususnya di platform seperti TikTok. Konten viral yang sifatnya humoris atau dangkal, meskipun menghibur, seringkali minim nilai edukasi dan justru berkontribusi pada kondisi brain rot.
Beberapa efek brain rot yang paling sering dibahas meliputi kesulitan mengingat informasi sederhana, penurunan produktivitas, hingga meningkatnya risiko kecemasan dan stres, terutama pada anak-anak dan remaja. Konsumsi konten berkualitas rendah secara berlebihan dapat menyebabkan otak menjadi malas berpikir kritis, yang pada akhirnya memengaruhi prestasi akademik maupun kehidupan sehari-hari.
Untuk menghindari dampak negatif brain rot, diperlukan kesadaran dalam memilih jenis konten yang dikonsumsi. Membatasi waktu layar, mengalokasikan waktu untuk membaca atau belajar hal baru, dan terlibat dalam kegiatan yang merangsang pikiran menjadi langkah awal yang dapat diambil.
Fenomena brain rot adalah pengingat bahwa di balik kemudahan akses informasi dan hiburan, diperlukan keseimbangan agar teknologi tidak menjadi bumerang bagi perkembangan mental dan intelektual masyarakat.