Wanua.id – Keputusan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump untuk menghidupkan kembali batu bara telah memantik gelombang debat di seluruh dunia. Bagi Indonesia, langkah ini menghadirkan dilema yang tak sederhana: peluang ekspor yang kembali terbuka lebar, sekaligus risiko mengendurkan transisi menuju ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.
Melalui Rancangan Undang-Undang One Big Beautiful Bill Act yang lolos tipis di Senat, Trump secara resmi mencabut sebagian besar insentif energi bersih. Subsidi kendaraan listrik senilai US$7.500 akan dihentikan pada September 2025, kredit pajak bagi proyek tenaga surya dan angin akan berakhir pada 2027. Sebaliknya, tarif royalti batu bara diturunkan dan potongan pajak baru diberikan bagi batu bara metalurgi. Langkah itu secara praktis mengembalikan posisi batu bara sebagai primadona energi domestik AS, sebuah pergeseran tajam dari arah kebijakan era pemerintahan sebelumnya.
Di mata pengusaha tambang Indonesia, kebijakan ini langsung dibaca sebagai kabar baik. Permintaan batu bara global yang sempat turun akibat kebijakan dekarbonisasi kini berpeluang pulih lebih cepat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan volume ekspor batu bara Indonesia pada 2024 mencapai 405,76 juta ton, tumbuh 6,86% dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun nilainya anjlok 11,86% akibat penurunan harga pasar. Dengan AS kembali memprioritaskan batu bara untuk kebutuhan industrinya, peluang kenaikan harga dan permintaan semakin terbuka. Ini berpotensi mendongkrak penerimaan devisa, menopang kontribusi sektor tambang terhadap APBN, dan memperkuat neraca dagang.
Namun di sisi lain, euforia jangka pendek itu menyimpan risiko jangka panjang. Indonesia yang sedang membangun citra sebagai pemimpin transisi energi di kawasan ASEAN kini terancam menghadapi tekanan baru. Ketergantungan pada ekspor batu bara membuat upaya dekarbonisasi ekonomi semakin rapuh. Banyak perusahaan dan pemerintah daerah yang telah merancang peta jalan pengurangan emisi CO2 berpotensi tergoda kembali mengandalkan pendapatan batu bara, sementara investasi pada energi terbarukan belum sepenuhnya matang.
Ancaman lain datang dari tren global pembiayaan hijau. Bank-bank internasional, lembaga keuangan multilateral, dan sejumlah mitra dagang utama Indonesia—seperti Uni Eropa—terus memperketat kebijakan pembelian dan pendanaan proyek yang bergantung pada energi fosil. Jika Indonesia terlalu terlena dengan kebangkitan pasar batu bara, citra buruk pada aspek keberlanjutan bisa mengikis kepercayaan investor yang semakin selektif memilih proyek ramah lingkungan.
Di sisi domestik, ketimpangan ekonomi daerah penghasil batu bara juga masih menjadi pekerjaan rumah. Sementara daerah kaya tambang akan meraup keuntungan, banyak wilayah lain tetap rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan krisis energi. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan jika pendapatan tambahan tidak dikelola untuk diversifikasi ekonomi lokal.
Kebijakan energi kotor Amerika telah menegaskan bahwa transisi menuju ekonomi hijau bukan sekadar persoalan niat, melainkan pertarungan kepentingan politik dan pragmatisme pasar. Bagi Indonesia, peluang ekspor batu bara yang tumbuh kembali adalah kabar baik bagi kas negara, tetapi juga alarm bagi komitmen jangka panjang membangun masa depan energi bersih.
Di tengah pilihan yang tak mudah antara pertumbuhan ekonomi instan dan keberlanjutan lingkungan, keputusan strategis pemerintah Indonesia akan menjadi ujian apakah komitmen ekonomi hijau hanya sebatas slogan, atau benar-benar dipegang sebagai fondasi pembangunan bangsa ke depan.