Wanua.id – Perbedaan besar dalam angka kemiskinan antara data Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencuat ke publik. Hal ini bukan tanpa sebab. Metodologi dan standar garis kemiskinan yang digunakan keduanya ternyata berbeda secara signifikan.
Bank Dunia menggunakan tiga pendekatan untuk memantau tingkat kemiskinan global. Pertama adalah international poverty line sebesar US$ 2,15 per kapita per hari untuk mengukur kemiskinan ekstrem. Selain itu, terdapat garis kemiskinan sebesar US$ 3,65 untuk negara berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income), dan US$ 6,85 untuk negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income).
Ketiga garis kemiskinan tersebut dihitung berdasarkan US$ PPP (purchasing power parity), yaitu metode yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai tukar ini tidak mencerminkan nilai pasar, melainkan jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli barang dan jasa yang sama di berbagai negara. Pada tahun 2024, nilai US$1 PPP setara dengan Rp 5.993,03.
Di sisi lain, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), dengan garis kemiskinan nasional ditentukan berdasarkan kebutuhan minimum makanan setara 2.100 kilokalori per kapita per hari, ditambah kebutuhan non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan pendekatan ini, BPS mencatat angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau sekitar 25 juta orang.
Data terbaru Bank Dunia justru menunjukkan angka yang lebih tinggi. Bila dihitung menggunakan garis kemiskinan US$ 3,65 per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai lebih dari 40 juta jiwa. Perbedaan mencolok ini menimbulkan pertanyaan publik tentang keakuratan dan kecocokan indikator kemiskinan yang digunakan pemerintah dalam perumusan kebijakan sosial.
Pemerhati kebijakan publik menekankan pentingnya transparansi dan harmonisasi indikator agar intervensi penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif. “Kita tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan jika tidak memiliki pemahaman bersama tentang siapa yang sebenarnya tergolong miskin,” ujar salah satu analis kebijakan sosial.
Perbedaan angka ini menunjukkan bahwa pendekatan statistik bukan sekadar soal angka, melainkan juga berkaitan erat dengan pilihan politik dan arah pembangunan negara.