Wanua.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menilai langkah tersebut berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, menyebut kenaikan PPN ini bisa menggerus daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi yang sudah terjadi. “Jika harga barang naik akibat PPN, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor penggerak utama ekonomi Indonesia akan terpukul,” kata Eko dalam diskusi daring, Senin (18/11) dikutip melalui Tempo.
Dampaknya tidak hanya terbatas pada konsumsi. Ahmad Heri Firdaus, peneliti Indef, menjelaskan kenaikan tarif PPN akan memicu kenaikan biaya produksi di sektor industri, yang kemudian berimbas pada penurunan permintaan barang. “Produksi yang menurun akan memengaruhi utilisasi tenaga kerja, mulai dari pengurangan jam kerja hingga pemutusan hubungan kerja,” ujarnya.
Menurut perhitungan Indef, kenaikan PPN bisa menekan pertumbuhan ekonomi hingga 0,17 persen dan mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar 0,26 persen. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Sri Mulyani sebelumnya menjelaskan kenaikan tarif ini bertujuan menjaga kesehatan anggaran negara (APBN) agar tetap mampu merespons krisis. “Kebijakan ini tidak dilakukan dengan membabi buta. Kami mempertimbangkan berbagai sektor, termasuk kesehatan dan makanan pokok,” ujar Menkeu dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (14/11).
Kendati demikian, Indef mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengimplementasikan kebijakan ini di tengah kondisi ekonomi global yang belum stabil. “Keseimbangan antara peningkatan pendapatan negara dan daya tahan ekonomi masyarakat harus tetap dijaga,” tegas Eko. (***/ar)