Wanua.id, Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Rencana ini memunculkan berbagai kekhawatiran di kalangan pelaku dunia usaha, terutama terkait dengan beban administrasi yang semakin kompleks dan potensi risiko perpajakan yang meningkat.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ajib Hamdani, menyoroti bahwa kebijakan ini dapat memberikan dampak negatif bagi pengusaha. “PPN adalah pajak tidak langsung yang melibatkan pengusaha dalam proses pemungutan, administrasi, dan penyetoran. Kebijakan yang rumit, seperti adanya multitarif PPN, meningkatkan risiko kesalahan administrasi,” ujar Ajib dalam Seminar Outlook Perpajakan 2025 yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Jakarta.
Ajib menjelaskan bahwa saat ini terdapat tarif PPN sebesar 11 persen, 12 persen, serta tarif PPN 1 persen yang ditanggung pemerintah (DTP). “Kompleksitas administrasi ini berisiko menyebabkan kesalahan teknis yang bisa berujung pada pemeriksaan pajak dan denda,” tambahnya. Ia juga menambahkan bahwa banyak pengusaha yang menghadapi tantangan administratif yang berat, dengan potensi kesalahan yang semakin tinggi. Ini bisa memicu sanksi pajak yang merugikan pengusaha, yang pada dasarnya sudah membantu pemerintah dalam memungut dan membayarkan pajak. “Pemerintah harus bekerjasama dengan dunia usaha untuk merancang kebijakan perpajakan yang lebih aplikatif dan kondusif,” ujarnya.
Ajib juga menyebutkan bahwa beban administratif yang tinggi dapat menciptakan ketidakpastian di kalangan pengusaha, yang pada akhirnya dapat mengganggu kelangsungan bisnis mereka. Kebijakan tarif PPN 12 persen ini akan diterapkan pada seluruh barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Meskipun pemerintah memberikan insentif berupa PPN 1 persen DTP untuk beberapa barang seperti tepung terigu, gula industri, dan Minyak Kita, Ajib menyatakan bahwa kebijakan ini tetap berpotensi memberi dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, sebelum resmi diberlakukan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024. Selain itu, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat mengalami kontraksi pada September 2024, yang menunjukkan penurunan kegiatan produksi. Survei APINDO juga mengungkapkan bahwa 4 dari 10 pengusaha mengalami stagnasi dalam bisnis mereka pada 2024.
Ajib menilai bahwa sektor usaha yang bergantung pada konsumsi rumah tangga, seperti sektor retail, hiburan, dan usaha kecil menengah (UKM), akan merasakan dampak langsung. Penurunan daya beli masyarakat berisiko menggerus omzet usaha mereka lebih dalam. Kenaikan tarif PPN yang berbarengan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen pada 2025 diprediksi akan menciptakan situasi yang sulit bagi pengusaha. Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, menyebutkan bahwa kondisi ini merupakan “double kill” bagi dunia usaha. “Pemerintah perlu mempertimbangkan penundaan kenaikan PPN dan memberikan relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan untuk membantu pengusaha mengatasi tantangan ini,” ungkap Bob.
Shinta W. Kamdani, Ketua Umum APINDO, juga mengingatkan bahwa kenaikan biaya operasional, termasuk upah tenaga kerja, dapat mendorong pengusaha untuk melakukan efisiensi, yang mungkin termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK). “Kenaikan ini bisa meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional,” ujar Shinta. Direktur Center of Economic and Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa kebijakan kenaikan PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi, dengan daya beli masyarakat yang semakin tertekan, terutama bagi UKM yang sulit menyesuaikan margin keuntungan mereka.
APINDO berharap pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih kondusif untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing dunia usaha. Bob Azam mengungkapkan bahwa dunia usaha akan sangat mendukung jika pemerintah menunda kenaikan tarif PPN atau memberikan insentif pajak lainnya guna menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan dialog dengan pengusaha mengenai kebijakan PPN dan UMP. “Kami terus berdiskusi untuk mencari solusi guna menghindari kondisi yang lebih buruk seperti PHK dan tantangan lainnya di dunia usaha,” kata Yassierli.
Meski demikian, para pengusaha berharap kebijakan ini dapat ditunda dan kebijakan perpajakan disesuaikan untuk menciptakan situasi ekonomi yang lebih stabil, sehingga dapat mendukung kelangsungan bisnis dan pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2025.