Wanua.id – Presiden Prabowo Subianto baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Namun, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil terkait pendekatan militeristik yang digunakan. Perpres tersebut membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan dengan struktur yang melibatkan TNI dan Polri sebagai pemegang peran kunci, baik sebagai ketua maupun wakil ketua.
Koalisi masyarakat sipil menganggap langkah ini berpotensi mengancam kehidupan masyarakat yang telah lama tinggal dan bergantung pada kawasan hutan. “Pendekatan ini bisa menjadi ancaman baru bagi masyarakat lokal yang sering menjadi korban konflik tenurial atau sengketa agraria,” ujar Uli Arta Siagian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Menurut Uli, Perpres ini menyamaratakan aktivitas legal masyarakat lokal dengan aktivitas ilegal yang dilakukan korporasi besar. Ia juga menilai bahwa kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yang melindungi masyarakat yang memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan kekhawatiran serupa. “Perpres ini bisa digunakan untuk melegitimasi pemukiman ulang masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan secara turun-temurun,” jelasnya. Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi publik dalam proses penertiban kawasan hutan untuk memastikan keadilan bagi masyarakat adat.
Selain itu, Abdul Haris dari Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengkritisi potensi penggunaan Perpres ini untuk melindungi perusahaan sawit yang beroperasi ilegal di kawasan hutan. “Seharusnya fokusnya adalah penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan, bukan pada rakyat kecil,” tegasnya.
Kritik ini muncul di tengah rencana besar pemerintah untuk membuka 20 juta hektare hutan sebagai lahan pangan dan energi. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah pendekatan ini benar-benar diarahkan untuk melindungi lingkungan, ataukah hanya menjadi alat legitimasi bagi korporasi besar?
Para pengamat mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam implementasi kebijakan ini dan melibatkan masyarakat secara aktif. Partisipasi publik, menurut mereka, adalah kunci untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi pengelolaan hutan Indonesia.