Wanua.id – Indonesia sebagai negara demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), meskipun tetap dibatasi Pasal 28J demi menghormati hak orang lain. Partisipasi publik melalui demonstrasi dan petisi adalah bentuk nyata dari kebebasan ini. Selain demonstrasi, petisi online kian populer karena kemudahannya dan efektivitas dalam menggalang dukungan.
Platform seperti Change.org telah menjadi sarana penting bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Beberapa petisi berhasil mempengaruhi kebijakan publik, seperti desakan vaksin COVID-19 gratis dan pengesahan RUU TPKS. Namun, ketiadaan regulasi khusus mengenai petisi online di Indonesia membuat pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk merespons, berapapun jumlah dukungannya.
Hal ini berbeda dengan beberapa negara lain yang memiliki mekanisme petisi terstruktur. Di Inggris, misalnya, petisi dengan 10.000 tanda tangan mendapat respons pemerintah, dan jika mencapai 100.000 tanda tangan akan dibahas di parlemen. Di Amerika Serikat, Gedung Putih mewajibkan pemerintah merespons petisi yang mencapai 100.000 tanda tangan dalam waktu 30 hari.
Salah satu petisi terbaru yang menjadi perhatian publik di Indonesia adalah kampanye “Tolak Komersialisasi Gelar Doktor, Pertahankan Integritas Akademik.” Petisi ini menyoroti pemberian gelar doktor kepada Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi RI, yang dinilai tidak transparan dan dianggap merusak integritas akademik. Isu ini memicu kekecewaan dari publik dan kalangan akademisi yang merasa gelar akademik seharusnya diperoleh melalui proses ketat dan bebas dari intervensi politik atau komersialisasi.
Terpantau oleh Wanua.id, petisi tersebut pada pukul 19.15 WITA (18 Oktober 2024) telah mengumpulkan 4.121 tanda tangan dengan target 5.000 tanda tangan sejak diajukan pada 17 Oktober 2024, namun hingga kini belum ada respons resmi dari lembaga terkait maupun pemerintah.
Namun mekanisme petisi online di Indonesia tanpa regulasi yang jelas, aspirasi publik sering kali tidak mendapat perhatian serius. Akibat tidak adanya jalur resmi yang efektif, masyarakat kerap beralih ke media sosial untuk menyampaikan kritik. Sayangnya, kritik di media sosial kerap menimbulkan risiko hukum seperti tuduhan ujaran kebencian dan pelanggaran UU ITE. Hal ini semakin menegaskan pentingnya regulasi petisi online untuk memberikan ruang bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat secara aman dan efektif.
Di era digital, petisi online berpotensi menjadi pilar penting demokrasi partisipatif. Keberhasilan petisi sebelumnya, seperti penolakan remisi bagi koruptor dan dukungan terhadap Kusrin, menunjukkan bahwa dukungan publik bisa memengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, tanpa payung hukum yang mengatur mekanisme ini, petisi online hanya akan menjadi angin lalu, bagaimana dengan ajuan petisi pada kasus pemberian gelar Bahlil? (ar)