Wanua.id – Lebih dari 175 negara sedang mengikuti negosiasi kelima Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) mengenai plastik atau Global Plastics Treaty, yang berlangsung dari 25 November hingga 1 Desember 2024 di Busan, Korea Selatan. Tujuan utama pertemuan ini adalah untuk mengakhiri polusi plastik di seluruh siklus hidup plastik, sesuai dengan mandat Resolusi UNEA 5/14. Namun, posisi Indonesia dalam negosiasi ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Walhi mengungkapkan bahwa proses negosiasi berjalan lambat, terutama karena adanya perbedaan pandangan yang tajam antarnegara mengenai pengurangan produksi plastik. Negara-negara yang tergabung dalam High Ambition Coalition (HAC) menekan pentingnya pengurangan produksi plastik, sementara negara-negara produsen bahan bakar fosil lebih berfokus pada pengelolaan sampah plastik. Hal ini membuat negosiasi berjalan kurang progresif, terutama dalam isu-isu yang berhubungan dengan pengurangan produksi plastik di hulu.
Indonesia, menurut Walhi, menunjukkan sikap yang kurang ambisius dalam upaya mengatasi polusi plastik. Pemerintah Indonesia cenderung mengusung prinsip-prinsip yang lebih luas dan tidak memperlihatkan komitmen yang mengikat terkait pengurangan produksi plastik. Sebagai pengganti solusi jangka panjang yang lebih radikal, Indonesia lebih mengutamakan kebijakan yang fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi nasional, serta mengedepankan pendekatan yang lebih praktis. Selain itu, Indonesia juga lebih fokus pada solusi berbasis pengelolaan sampah plastik, seperti daur ulang dan pembuangan yang aman, alih-alih mengutamakan langkah-langkah pencegahan yang lebih mendasar.
Lebih lanjut, posisi Indonesia dalam negosiasi ini juga terkesan melindungi kepentingan industri plastik. Pemerintah Indonesia tampak menghindari pembatasan produksi plastik, dengan alasan mempertimbangkan faktor ekonomi dan kesiapan teknologi di dalam negeri. Padahal, industri plastik hulu, terutama yang terkait dengan minyak bumi dan petrokimia, adalah penyumbang utama polusi dan emisi gas rumah kaca, yang berkontribusi terhadap krisis iklim global.
Para aktivis lingkungan juga menyoroti pentingnya transparansi dalam penggunaan bahan kimia dalam plastik, yang harus dapat diakses oleh publik. Mereka menekankan bahwa masyarakat berhak mengetahui bahan kimia apa saja yang digunakan dalam proses produksi plastik, mulai dari hulu hingga hilir. Ini menjadi bagian penting dari hak untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan sehat, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam negosiasi ini.
Secara keseluruhan, meski negosiasi Global Plastics Treaty diharapkan menjadi langkah penting dalam mengurangi polusi plastik global, posisi Indonesia yang terkesan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan industri plastik dianggap tidak mencerminkan urgensi dan keseriusan untuk menghadapi krisis polusi plastik dan perubahan iklim. Masyarakat sipil berharap agar Indonesia mengambil langkah yang lebih tegas dan ambisius dalam mendukung perjanjian internasional ini demi masa depan yang lebih baik. (***/ar)