Wanua.id – Kasus kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut Tangerang, Banten, mencuat ke publik dan mengejutkan banyak pihak. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkap bahwa sejumlah besar bidang perairan laut di kawasan tersebut ternyata telah bersertifikat HGB. Fakta ini menyorot keterlibatan perusahaan-perusahaan besar, termasuk entitas bisnis milik Sugianto Kusuma alias Aguan.
Menurut Nusron, total terdapat 263 bidang tanah perairan yang memiliki sertifikat HGB. Salah satu pemegang sertifikat tersebut adalah PT Cahaya Inti Sentosa (CISN), anak perusahaan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PIK 2), yang merupakan bagian dari Agung Sedayu Group milik Aguan. CISN diketahui menguasai 20 bidang lahan di area perairan laut tersebut.
Laporan keuangan PIK 2 kuartal III-2024 mengungkap bahwa CISN hampir sepenuhnya dimiliki oleh PIK 2, dengan kepemilikan saham mencapai 99,33 persen. Investasi senilai Rp4,15 miliar telah digelontorkan untuk entitas ini, sebagaimana tercatat dalam akta notaris nomor 86 dari Edison Jingga, S.H., M.H., pada 13 Desember 2023.
Namun, PT CISN bukan satu-satunya perusahaan terkait. Nusron juga merinci bahwa PT Intan Agung Makmur, yang memiliki hubungan erat dengan Agung Sedayu Group, menguasai 234 bidang dari total 263 bidang bersertifikat HGB tersebut. Perusahaan ini, yang berdiri pada 6 Juni 2023, berkantor di kawasan Pantai Indah Kapuk 2, Tangerang, dan berfokus pada pengembangan properti hunian serta komersial.
Kepemilikan sertifikat HGB di area perairan laut menimbulkan polemik besar. Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya telah menyatakan bahwa penerbitan sertifikat semacam ini dinilai bertentangan dengan regulasi, mengingat laut adalah wilayah publik yang tidak seharusnya dimiliki secara pribadi.
Publik mempertanyakan bagaimana prosedur penerbitan sertifikat HGB untuk area laut ini bisa terjadi. Apakah ada kelalaian, atau bahkan indikasi penyalahgunaan wewenang? Keberadaan pagar yang membatasi akses publik ke laut juga memunculkan isu tentang transparansi dan keadilan dalam pengelolaan ruang laut.
Terungkapnya kasus ini tentu menambah sorotan terhadap Agung Sedayu Group sebagai salah satu konglomerasi properti terbesar di Indonesia. Dengan portofolio bisnis yang luas, kasus ini berpotensi memengaruhi reputasi mereka, terutama di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap isu keberlanjutan dan keadilan sosial.
Pemerintah dan masyarakat kini menunggu langkah konkret dari pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan polemik ini. Apakah sertifikat HGB ini akan dibatalkan, atau justru diakui secara legal? Polemik ini menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam memastikan tata kelola pertanahan yang adil dan transparan di Indonesia.