Ancaman Ruang Siber dalam Revisi UU TNI, Kekhawatiran terhadap Ketidakjelasan Definisi

oleh -42 Dilihat

Wanua.id – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali menuai sorotan, khususnya terkait perluasan tugas TNI dalam menghadapi ancaman siber. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketidakjelasan definisi ancaman siber di sektor pertahanan dalam revisi UU tersebut.

Menurut Nenden, dikutip dari Tempo, istilah ancaman siber dalam konteks pertahanan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga membuka peluang interpretasi yang beragam. “Ketidakjelasan itu bisa menimbulkan berbagai tafsir. Sebab, jenis-jenis ancaman siber sangat beragam, dari kejahatan siber hingga perang siber,” ujarnya pada Kamis, 20 Maret 2025.

Lebih lanjut, ia menyoroti potensi TNI dalam menafsirkan ancaman siber sebagai propaganda dan perang informasi di ruang digital, sementara ancaman teknis yang menyasar infrastruktur siber pertahanan mungkin tidak masuk dalam cakupan yang dimaksud. Contoh serangan teknis yang pernah terjadi di dunia adalah serangan Stuxnet atau worm di Iran serta NotPetya di Ukraina.

Peraturan dalam revisi UU TNI menjelaskan bahwa pemerintah menganggap perang informasi, kegiatan propaganda, dan manipulasi informasi sebagai ancaman siber. Pertahanan siber didefinisikan sebagai upaya menanggulangi serangan siber yang mengancam pertahanan. Serangan siber dalam peraturan ini dapat berupa perbuatan, perkataan, dan pemikiran yang dianggap mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa.

Pandangan pemerintah mengenai definisi ancaman siber juga tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah terkait revisi UU TNI versi tahun lalu. Dalam DIM tersebut, pemerintah menganggap ancaman virtual dan kognitif, seperti manipulasi sosial, polusi informasi, serta narasi dengan ekspresi berlebihan, sebagai bentuk ancaman siber.

Menurut Nenden, dokumen tersebut cukup untuk menggambarkan konstruksi pemikiran pemerintah yang mencampuradukkan serangan teknis terhadap infrastruktur siber dengan serangan sosial yang menargetkan pikiran manusia. Ia khawatir bahwa dengan tidak adanya kejelasan pemisahan antara keduanya, kritik terhadap negara dapat dengan mudah dikategorikan sebagai propaganda asing.

Kekhawatiran ini didasarkan pada respons TNI dalam menanggapi kritik terhadap revisi UU TNI di ruang digital. Beberapa akun media sosial TNI disebutkan menanggapi penolakan terhadap revisi dengan meluncurkan narasi tandingan, bahkan menyebut pihak yang menentang revisi sebagai “antek asing.”

Dengan meningkatnya peran digital dalam kehidupan masyarakat, regulasi yang jelas mengenai ruang siber menjadi penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasinya, khususnya dalam konteks hak berekspresi dan keamanan negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *