Industri obat herbal di Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius dengan maraknya peredaran produk herbal abal-abal yang tidak memenuhi standar kesehatan. Produk-produk berisiko yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), seperti sildenafil, metampiron, dan deksametason, ditemukan beredar luas di masyarakat, terutama di daerah Jawa Barat. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), Taruna Ikrar, baru-baru ini mengungkapkan bahwa sedikitnya ada 10 produk berbahan alam yang berpotensi memicu kerusakan jantung hingga gagal ginjal, bahkan kematian jika dikonsumsi tanpa pengawasan.
Temuan tersebut menjadi alarm bagi pemerintah dan pelaku industri untuk segera mengambil langkah konkret dalam memperkuat pengawasan dan meningkatkan kualitas produk herbal yang beredar di pasar. Produk-produk herbal abal-abal ini, yang sebagian besar dipasarkan sebagai obat penambah gairah pria dan pereda asam urat, memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang kandungan berbahaya yang seharusnya hanya digunakan di bawah pengawasan medis. Produk ilegal tersebut merusak citra obat herbal dan mengancam kesehatan masyarakat.
BPOM telah memberikan peringatan keras terhadap beberapa produk yang mengandung BKO seperti Cobra X, Spider, Africa Black Ant, hingga Tongkat Arab. Keberadaan produk-produk ini mengkhawatirkan karena banyak yang beredar tanpa izin edar resmi dan mengandung bahan berbahaya yang tidak seharusnya ada dalam obat herbal. Taruna Ikrar menegaskan bahwa konsumsi obat-obatan berbahan herbal yang tidak sesuai standar dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh seperti hati dan ginjal, serta risiko kematian.
Di tengah situasi ini, Kementerian Kesehatan RI mengambil langkah strategis dengan mendorong penguatan industri farmasi herbal yang terstandar. Kementerian berharap bahwa dengan adanya regulasi dan pengawasan yang ketat, industri obat tradisional bisa berkembang sebagai kekuatan farmasi nasional yang mendukung kesehatan masyarakat. Penguatan industri herbal yang memenuhi standar kualitas, mulai dari proses produksi hingga distribusi, menjadi sangat penting agar produk herbal yang aman dan berkhasiat dapat diakses masyarakat, sekaligus mencegah kebodohan publik oleh produk abal-abal.
Kementerian Kesehatan melihat potensi besar dalam pengembangan obat tradisional berbasis herbal di Indonesia, mengingat kekayaan alam nusantara yang melimpah dengan tanaman obat. Namun, langkah ini perlu diiringi dengan kebijakan tegas untuk menindak pelaku bisnis yang mencampur produk herbal dengan bahan kimia berbahaya, serta edukasi kepada masyarakat agar lebih cerdas dalam memilih produk obat tradisional.
Dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah, pelaku industri farmasi, dan masyarakat, Indonesia diharapkan bisa mengembangkan industri farmasi herbal yang berdaya saing global, aman, dan berkualitas. Upaya ini tidak hanya akan melindungi masyarakat dari risiko kesehatan akibat obat herbal abal-abal, tetapi juga membangun kepercayaan pada obat tradisional yang teruji secara ilmiah dan sesuai standar kesehatan. (***/ar)