Jakarta, Wanua.id – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan pentingnya hak setiap individu untuk mencapai standar kesehatan jiwa tertinggi, yang mencakup perlindungan dari risiko kesehatan jiwa serta akses terhadap layanan yang komprehensif dan berkualitas. Kesehatan jiwa memiliki peran krusial dalam mendukung kemampuan individu menjalankan berbagai peran sosial, termasuk di lingkungan kerja. Hal ini menjadi penting karena dampak kesehatan jiwa tidak hanya mempengaruhi produktivitas pekerja, tetapi juga kualitas hidup mereka secara keseluruhan, terutama bagi pekerja perempuan yang kerap dihadapkan pada beban ganda antara pekerjaan dan tanggung jawab domestik.
Menurut Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, isu kesehatan jiwa di tempat kerja harus mendapat perhatian serius, sejalan dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2024 yang bertema “Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Jiwa di Tempat Kerja.” Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, menjadi salah satu faktor pemicu gangguan kesehatan jiwa di tempat kerja. Data dari CATAHU menunjukkan bahwa selama 21 tahun terakhir, kasus kekerasan seksual di tempat kerja, seperti pelecehan dan pemerkosaan, banyak terjadi di perusahaan swasta, lembaga pemerintah, LSM, hingga dunia hiburan.
Dalam periode 2017-2021, tercatat ada 517 pelaku kekerasan seksual di tempat kerja, yang sebagian besar merupakan rekan kerja dan atasan. Selain itu, 20 perusahaan dilaporkan terlibat karena gagal menindaklanjuti laporan kekerasan seksual secara memadai. Dampak dari kekerasan ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan jiwa bagi korban, mulai dari kecemasan hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD), yang secara langsung mempengaruhi produktivitas kerja mereka.
Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan, menyatakan bahwa dampak dari menurunnya produktivitas pekerja akibat gangguan kesehatan jiwa akan berdampak lebih luas pada perekonomian. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun perusahaan perlu memberikan perhatian lebih untuk mengatasi masalah ini melalui peningkatan infrastruktur dan layanan kesehatan jiwa yang memadai.
Sayangnya, berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2022, hanya sekitar 50% Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa, sementara hanya 40% rumah sakit umum memiliki fasilitas yang memadai. Dengan jumlah psikiater yang terbatas, yakni hanya 1.053 orang, satu psikiater di Indonesia harus melayani sekitar 250.000 penduduk, jauh dari standar yang direkomendasikan oleh WHO.
Komnas Perempuan juga menekankan pentingnya menjalankan mandat kebijakan yang mendukung pemulihan korban kekerasan seksual, khususnya mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Pasal 70 Undang-Undang No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) secara tegas menyebutkan bahwa korban berhak mendapatkan rehabilitasi mental dan sosial sebagai bentuk pemulihan.
Informasi ini didapatkan dari rilis resmi di situs Komnas Perempuan, yang juga menyoroti bahwa hak perempuan atas layanan kesehatan jiwa merupakan bagian dari kewajiban negara dalam memenuhi komitmen internasional, seperti yang tercantum dalam Konvensi CEDAW. Negara berkewajiban memastikan akses yang setara bagi perempuan dan laki-laki terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, termasuk kesehatan jiwa. (ar)