Presiden terpilih Prabowo Subianto menjadikan penanganan stunting sebagai salah satu prioritas dalam program kesehatannya. Salah satu kebijakan utamanya adalah program makan bergizi gratis, yang awalnya ditujukan bagi anak sekolah. Namun, cakupannya kini diperluas mencakup ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, untuk memastikan kelompok-kelompok tersebut mendapatkan nutrisi penting dalam mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.
Walaupun inisiatif ini terlihat menjanjikan, banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya. Stunting bukan hanya disebabkan oleh kekurangan gizi, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pola asuh yang tidak tepat, akses layanan kesehatan yang terbatas, buruknya sanitasi, dan minimnya akses terhadap air bersih. Program makan gratis saja mungkin tidak cukup untuk mengatasi akar masalah ini, apalagi jika tidak disertai dengan edukasi dan perbaikan layanan kesehatan primer.
Kendala infrastruktur juga menjadi tantangan besar. Di banyak daerah terpencil, distribusi makanan bergizi seringkali terhambat oleh buruknya akses jalan, minimnya sarana transportasi, dan keterbatasan fasilitas penyimpanan. Tanpa perbaikan infrastruktur, risiko ketidakefektifan program ini sangat tinggi, terutama di wilayah yang paling membutuhkan intervensi.
Selain itu, pengawasan terhadap kualitas gizi juga menjadi perhatian. Setiap anak dan ibu memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda, dan tanpa pemantauan ketat, pemberian makanan standar bisa kurang efektif. Program ini harus memastikan bahwa makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan spesifik penerima agar benar-benar memberikan dampak signifikan dalam menurunkan angka stunting.
Biaya pelaksanaan program ini juga tidak bisa diabaikan. Cakupannya yang luas membutuhkan anggaran besar, dan Bank Dunia telah memperingatkan tentang potensi risiko fiskal jika tidak ada perencanaan anggaran yang matang. Pemerintah perlu memastikan bahwa program ini memiliki pendanaan yang berkelanjutan dan tidak menimbulkan defisit anggaran di masa mendatang.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa program ini bisa menimbulkan ketergantungan. Alih-alih mendorong kemandirian keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi, sebagian orang tua mungkin akan terlalu bergantung pada bantuan pemerintah. Tanpa edukasi yang tepat, masyarakat berisiko kehilangan inisiatif untuk memastikan pemenuhan gizi secara mandiri.
Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah program ini benar-benar solusi efektif atau hanya kebijakan populis untuk menarik perhatian publik. Dengan berbagai tantangan yang ada, program makan bergizi gratis ini perlu dijalankan secara terintegrasi dan komprehensif agar tidak sekadar menjadi langkah sementara yang terlihat baik di permukaan, tetapi gagal mengatasi masalah stunting secara menyeluruh. (ar)