Indonesia telah menghasilkan ribuan penelitian mengenai potensi tanaman herbal sebagai obat alami. Namun, meski potensi tanaman herbal sangat besar, hanya sedikit dari penelitian tersebut yang berhasil lolos dan menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT). Dalam tiga tahun terakhir, tercatat sekitar 8.000 penelitian praklinis tanaman herbal yang telah diterbitkan. Lalu, mengapa begitu banyak penelitian ini terhambat dalam perkembangannya?
Menurut Prof. Bambang Cahyono, seorang peneliti kimia Obat Tradisional dari Universitas Diponegoro dikutip melalui halaman Detik.com, terdapat beberapa alasan utama yang menyebabkan banyak penelitian herbal gagal berkembang menjadi produk yang dapat dipasarkan.
Bahan Baku Tidak Terstandarisasi
Bambang menjelaskan bahwa salah satu faktor penghambat terbesar adalah ketiadaan bahan baku yang stabil dan terstandarisasi. Peneliti sering kali fokus pada uji praklinis tanpa mempertimbangkan apakah bahan baku dapat tersedia secara konsisten dalam jumlah besar. Untuk dapat memenuhi syarat OHT, bahan baku harus memiliki asal-usul yang jelas dan sesuai standar, namun banyak penelitian yang gagal dalam aspek ini.
Proses Produksi yang Kompleks dan Biaya Tinggi
Proses produksi sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) juga menjadi tantangan besar. Fasilitas produksi yang memadai serta biaya yang tinggi menjadi penghalang bagi banyak peneliti. Tidak semua peneliti memiliki akses ke fasilitas ini atau pemahaman yang cukup mengenai regulasi yang berlaku, sehingga banyak penelitian herbal yang terhenti sebelum dapat diproduksi dalam skala besar.
Tantangan Uji Toksisitas dan Uji Klinis
Agar dapat dikategorikan sebagai obat herbal terstandar, produk herbal harus melalui uji toksisitas dan uji klinis untuk membuktikan keamanannya. Namun, proses ini memerlukan perencanaan matang serta kolaborasi dengan berbagai pihak, yang sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti.
Kurangnya Dokumentasi Ilmiah yang Lengkap
Bambang juga menyoroti pentingnya dokumentasi ilmiah yang lengkap. Dokumentasi ini sangat penting untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Banyak penelitian herbal terhambat karena peneliti tidak menyiapkan dokumentasi yang diperlukan dengan baik sejak awal.
Minimnya Sinergi Antara Akademisi, Industri, dan Regulator
Minimnya kolaborasi antara peneliti, industri, dan regulator menjadi penghambat lainnya. Banyak penelitian hanya berfokus pada aspek ilmiah tanpa memperhatikan standar industri dan regulasi yang berlaku. Akibatnya, meskipun penelitian sudah matang di tingkat ilmiah, tetap sulit untuk diimplementasikan pada skala industri.
Bambang mendorong agar peneliti, industri, dan regulator bekerja sama lebih erat sejak awal proses penelitian. Selain itu, BPOM juga perlu lebih proaktif dalam memberikan pendampingan agar peneliti dapat mempersiapkan segala keperluan dokumentasi dan memenuhi persyaratan sejak tahap awal.
Dengan sinergi yang lebih baik antara peneliti, industri, dan regulator, penelitian tanaman herbal diharapkan tidak hanya menjadi publikasi ilmiah, tetapi juga berkembang menjadi produk obat yang bermanfaat bagi masyarakat. (***/ar)