Menyorot keterlibatan seorang profesor di Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dalam jaringan mafia publikasi ilmiah terungkap. Sosok yang diduga terlibat adalah Prof. JD, seorang guru besar di bidang Teknologi Informasi (TI). Prof. JD, yang dikukuhkan sebagai guru besar ULM pada akhir 2021 setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Malaysia, kini menjadi sorotan karena perannya dalam skandal jual-beli publikasi ilmiah yang terindeks Scopus.
Sumber dari berbagai media menyebutkan bahwa Prof. JD memiliki jaringan internasional yang tersebar di Indonesia, Malaysia, hingga Inggris. Melalui jaringan ini, ia diduga membeli jurnal-jurnal yang terindeks Scopus untuk menampung artikel-artikel dari klien yang ingin mendapatkan pengakuan ilmiah tanpa melalui proses penilaian yang ketat. Modus operandi ini memungkinkan sejumlah klien mempublikasikan karya mereka dalam jurnal bereputasi tanpa memenuhi standar kualitas yang semestinya.
Pengungkapan ini mengangkat kembali isu serius terkait integritas akademik di Indonesia. Tuntutan publikasi yang tinggi bagi dosen, terutama dalam jurnal bereputasi internasional seperti Scopus, sering kali menjadi beban tersendiri. Dalam banyak kasus, para akademisi dihadapkan pada tuntutan untuk mempublikasikan sejumlah artikel sebagai syarat kenaikan pangkat atau pengukuhan jabatan guru besar. Tekanan akademik inilah yang diduga menjadi salah satu alasan mengapa sejumlah dosen terjerumus dalam praktik-praktik tidak etis, seperti terlibat dalam mafia jurnal.
Praktik jual-beli artikel dalam jurnal internasional ini tidak hanya merusak reputasi institusi pendidikan tinggi, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas riset yang seharusnya membawa manfaat nyata bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat. Publikasi ilmiah yang idealnya menjadi tempat untuk menyebarkan hasil penelitian yang inovatif dan berkualitas, justru disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk keuntungan pribadi.
Kasus Prof. JD menjadi contoh nyata dari masalah yang lebih besar dalam dunia akademik, di mana jumlah publikasi sering kali dianggap lebih penting daripada kualitas konten ilmiahnya. Hal ini membuka ruang bagi terjadinya pelanggaran etika akademik yang semakin mengkhawatirkan.
Institusi pendidikan tinggi di Indonesia perlu memperketat pengawasan terhadap proses publikasi ilmiah dosen dan mahasiswa. Selain itu, reformasi dalam sistem penilaian akademik juga diperlukan, dengan menekankan pada kualitas riset daripada sekadar kuantitas publikasi. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisir kasus serupa di masa mendatang serta menjaga integritas dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia.
Dengan terungkapnya kasus ini, perhatian publik kembali tertuju pada tantangan yang dihadapi oleh para akademisi, khususnya terkait tekanan untuk terus memproduksi karya ilmiah yang diakui secara internasional. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk institusi akademik, pemerintah, dan komunitas ilmiah, untuk menanggulangi fenomena mafia jurnal ini dan mengembalikan kehormatan dunia pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi sumber inovasi dan kemajuan bangsa. (***/ar)