Politik Untung Rugi: ICW Peringatkan Bahaya Demokrasi Transaksional

oleh -85 Dilihat

Jakarta, Wanua.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa sebanyak 354 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024-2029 terindikasi memiliki afiliasi dengan jaringan bisnis. Temuan ini mencakup sekitar 60 persen dari total anggota DPR, yang menunjukkan peningkatan signifikan dari periode sebelumnya yang hanya sebesar 55 persen. Data ini diperoleh berdasarkan laporan dari Marepus Corner.

Peneliti ICW, Yassar Aulia, menjelaskan bahwa politisi yang memiliki afiliasi bisnis terbanyak berasal dari daerah pemilihan Jawa Timur (63 anggota), disusul Jawa Barat (57 anggota) dan Jawa Tengah (50 anggota). Semua partai pemenang kursi di DPR memiliki politisi-pebisnis dalam barisannya, dengan Partai Gerindra menyumbang kader terbanyak (65), diikuti oleh PDIP (63), Golkar (60), PKB (42), Nasdem (41), PKS (30), PAN (29), dan Demokrat (24).

Menurut Yassar, politik transaksional menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya jumlah politisi-pebisnis di DPR. Dalam diskusi publik bertajuk “Bayang-bayang Politisi-Pebisnis dalam Komposisi Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2024-2029” pada Kamis, 3 Oktober 2024, ia menjelaskan bahwa tingginya biaya politik di Indonesia menjadi faktor pendorong kuat bagi para politisi untuk berafiliasi dengan bisnis. “Biaya politik di Indonesia, baik untuk kampanye maupun berorganisasi dalam partai, sangat mahal. Hal ini menyebabkan hanya mereka yang memiliki sumber daya material yang cukup yang bisa bertahan dalam kontestasi politik,” kata Yassar.

Transaksi politik yang berbasis keuntungan material ini menimbulkan kekhawatiran besar. Pola tersebut memungkinkan para politisi untuk lebih mementingkan keuntungan pribadi atau kelompok daripada memperjuangkan kepentingan publik. Sistem demokrasi di Indonesia, menurut ICW, semakin menunjukkan pola transaksional, di mana keberhasilan seseorang untuk melenggang ke Senayan sering kali tergantung pada seberapa besar sumber daya yang mereka miliki.

Yassar menambahkan bahwa peningkatan persentase politisi-pebisnis ini mencerminkan situasi di mana dunia politik Indonesia semakin terkunci dalam mentalitas untung-rugi. “Hal ini berpotensi membahayakan sistem demokrasi kita. Ketika politik dijalankan dengan kalkulasi bisnis, kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada kepentingan segelintir elit, bukan kepentingan rakyat banyak,” pungkasnya.

Kondisi ini mengundang kecemasan akan terjadinya konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Peran pengawasan publik terhadap politisi dan kebijakan menjadi semakin penting guna memastikan demokrasi tidak berubah menjadi alat bisnis yang transaksional. (***/ar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *